Nasional

Kilas 2018: Pilkada Serentak dan Imbauan Moral PBNU

Jumat, 28 Desember 2018 | 10:45 WIB

Jakarta, NU Online
Dua tahun berturut-turut, yaitu pada 2018 dan 2019, masyarakat Indonesia dihadapkan pada perhelatan pesta demokrasi. Tahun 2018 kembali digelar geleran Pilkada serentak di 171 daerah. Sedangkan 2019 merupakan hajatan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden.

Sebagaian pengamat menyebut 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Suhu kehidupan kerap berubah menjadi panas ketika hajatan politik tiba. Hal ini tak jarang memunculkan konflik horisontal di tengah masyarakat sehingga persatuan bangsa menjadi taruhannya.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan senantiasa konsisten dalam menjaga keutuhan bangsa. Meskipun bukan organisasi yang terlibat langsung ke dalam politik praktis atau politik kekuasaan, namun NU tetap melakukan praktik politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik yang penuh dengan etika.

Tiga praktik politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) NU tersebut telah disampaikan oleh KH MA Sahal Mahfud (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) saat kegiatan Rapat Pleno PBNU di UNSIQ Wonosobo, Jawa Tengah pada 2013 silam agar NU tetap pada rel Khittah.

Pada momen Pilkada serentak 2018 yang dilaksanakan pada 27 Juni, fenomena yang muncul ialah upaya pemenangan Pilkada sebagai proyeksi atau modal dalam pemilihan Presiden. Hal itu memunculkan perdebatan politik tidak substansial karena justru energi Pilkada diarahkan untuk Pilpres 2019.

Selain itu, pada momen Pilkada serentak ini, tidak sedikit kader NU yang ikut berkontestasi di tanah kelahirannya masing-masing, baik sebagai calon gubernur, calon wali kota, dan calon bupati. Hal ini mendorong PBNU agar warga NU di bawah tetap menjaga persatuan dan keharmonisan meski berbeda pilihan.

"Demokrasi adalah pilihan untuk mengelola pemerintah. Harapannya untuk warna NU, baik yang dipilih maupun memilih, untuk menjunjung tinggi kebersamaan, tidak menggunakan hoaks, tidak menyebar ujaran kebencian. Mari bersaing sportif, jadi tidak terjadi perpecahan," kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini saat itu, Selasa (20/3/2018) dalam sebuah kegiatan di Magelang, Jawa Tengah.

Menurut Helmy, dinamika adalah hal yang wajar dalam proses politik. Untuk itu, sudah sepatutnya nahdliyin mengedepankan kedewasaan dalam berpolitik sehingga mampu memilih calon pemimpin yang memenuhi kriteria.

Keutuhan bangsa secara umum juga menjadi perhatian NU sehingga dalam momen Pilkada serentak PBNU mengeluarkan imbauan moral menjelang Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 lalu. Berikut imbauan moralnya:

Pesan Moral PBNU Jelang Pilkada Serentak 27 Juni

Pilkada serentak merupakan hajat politik yang besar dan penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, karena bukan saja berlangsung merata di Indonesia, tetapi juga dimaknai sebagai persiapan politik menghadapi Pemilu 2019 tahun depan.

Berkaitan dengan Pilkada dan pemungutan suara tanggal 27 Juni 2018 yang berlangsung di 171 daerah, Nahdlatul Ulama perlu menegaskan bahwa Bangsa Indonesia, terutama warga Nahdlatul Ulama adalah bangsa yang berbudaya, berakhlaq, ramah dan santun sehingga dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain. Untuk itu PBNU perlu menyampaikan pesan moral sebagai berikut:

Pertama, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang berpegang teguh pada Khittah-1926, yakni tidak berpolitik praktis karena bukan bukan organisasi politik. Politik bagi NU adalah politik moral demi kebaikan masyarakat, bangsa, negara dan kemanusiaan. Sehingga, dalam Pemilu atau Pilkada, NU secara organisasi tidak dapat mendukung calon tertentu.

Kedua, Nahdlatul Ulama mempercayakan pelaksanaan Pilkada kepada penyelenggara (KPU, BAWASLU dan DKPP) agar dapat melaksanakan pilkada dengan profesional, mandiri, netral dan dapat melayani seluruh kepentingan sebaik-baiknya, baik kepada masyarakat pemilih maupun kepada semua calon tanpa terkecuali.

Ketiga, Nahdatul Ulama menghimbau kepada warga negara yang memiliki hak pilih agar menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab dengan memegang prinsip bebas, jujur, adil, rahasia dan bermartabat untuk menentukan calon pemimpin daerah yang diyakini memiliki kompetensi dan akhlak yang baik, seperti kejujuran dan kemauan untuk membangun kemaslahatan masyarakat di daerah masing-masing.

Keempat, kepada pada calon kepala daerah dan wakilnya untuk dapat bersaing secara sehat, jujur, fair, taat hukum, mengedepankan akhlakul karimah, dan menerima hasil pilkada secara bertanggung jawab. Kepada pihak-pihak yang pada akhirnya memiliki ketidakpuasan atas berbagai sebab dalam pelaksanaan pilkada ini agar menyerahkan kepada mekanisme hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kelima, Nahdlatul Ulama mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk sama-sama menjaga ketertiban, ketenangan dan keamanan bersama, baik sebelum, saat dan sesudah pelaksanaan pilkada. Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama menghimbau untuk memandang perbedaan sebagai rahmat. Perbedaan pilihan calon kepala daerah tidak boleh menjadi alasan untuk perpecahan, apalagi saling menghasut, mengintimidasi dan memprovokasi dengan alasan apapun. Semua pihak harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.

والله الموفق إلى أقوم الطريق

Jakarta, 25 Juni 2018


Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA
Ketua Umum PBNU 

(Fathoni)


Terkait