Kisah Epik dari Novel Karya Pandir Kelana dalam Film Kereta Api Terakhir
Ahad, 19 Januari 2025 | 14:00 WIB
Film Kereta Api Terakhir yang direstorasi tahun 2019 dalam pemutaran oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Foto: layar,id)
Jakarta, NU Online
Banyak film Indonesia yang mengangkat tema perjuangan kemerdekaan, baik yang diproduksi baru-baru ini maupun yang dirilis sejak lama. Salah satu film yang menonjol adalah Kereta Api Terakhir. Disutradarai oleh Mochtar Soemodimedjo, film ini dirilis pada tahun 1981 dan menampilkan sejumlah aktor terkenal seperti Gito Rollies, Pupung Harris, Dedy Sutomo, Marlia Hardi, dan lainnya.
Film ini diadaptasi dari novel karya Pandir Kelana berjudul Kereta Api Terakhir ke Yogyakarta: Roman Revolusi '45. Pandir Kelana adalah nama pena dari Mayjen (Purn) RM Slamet Danusudirjo, seorang penulis yang dikenal berfokus pada kisah-kisah tentang Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Cerita dimulai dengan Letnan Firman dan tiga rekannya yang sedang dikejar oleh Tentara Belanda. Dalam pengejaran tersebut, Prapto, salah satu anggota kelompoknya, mengalami luka parah dan meninggal dunia. Dengan keberanian yang luar biasa, Firman berhasil melawan dan menaklukkan pasukan Belanda yang mengejar mereka, menyisakan satu orang Belanda yang selamat.
Kisah berlanjut ketika Letnan Firman dan Letnan Sudadi dipanggil ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta untuk bertemu Mayjen Tjokronegoro, yang mewakili Letjen Oerip Soemohardjo. Di markas tersebut, mereka mendapatkan penjelasan tentang situasi terkini, termasuk pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda. Diperkirakan, pasukan Belanda akan bergerak dari Cirebon menuju Tegal, serta dari Semarang ke arah selatan dan timur, dengan Tegal menjadi salah satu target utama dari arah Bandung dan Semarang.
Menurut rencana yang disusun oleh Markas Besar Tentara bersama Jawatan Kereta Api, semua peralatan kereta api dari Bandung, Pekalongan, Tegal, dan Tasikmalaya akan ditarik ke Purwokerto untuk kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta. Dalam misi ini, Letnan Firman dan Letnan Sudadi diberi tugas mengawasi perpindahan kereta api dari Purwokerto ke Yogyakarta.
Dalam perjalanan mereka, Letnan Firman dan Letnan Sudadi didampingi oleh Sersan Tobing, pengawal Mayjen Tjokronegoro. Setibanya di Stasiun Purwokerto, mereka bertemu Kandar, kepala stasiun yang ternyata merupakan teman lama Letnan Sudadi. Selanjutnya, Gombloh, tukang pijat Kolonel Gatot Soebroto, membawa mereka bertiga untuk bertemu dengan Panglima Divisi II tersebut.
Kolonel Gatot Soebroto memberikan instruksi kepada Letnan Firman dan Letnan Sudadi untuk mendiskusikan rencana pemindahan kereta api dengan Kapten Pujo. Setelah pembicaraan selesai, Kapten Pujo mengundang mereka bertiga beristirahat di rumahnya. Di sana, Firman bertemu dengan Retno, adik Kapten Pujo, dan langsung jatuh hati pada pandangan pertama.
Tugas pemindahan dimulai dengan Letnan Sudadi mengawal keberangkatan kereta api pertama, sementara Letnan Firman dan Sersan Tobing bertanggung jawab atas kereta api terakhir. Para pengungsi pun memadati kereta terakhir untuk menuju Yogyakarta. Stasiun Purwokerto menjadi penuh sesak dengan orang-orang yang panik akibat rumor bahwa Tentara Belanda sudah mencapai Tegal.
Perjalanan kereta terakhir ini penuh tantangan. Mereka beberapa kali diserang oleh pesawat tempur cocor merah milik Belanda, dan perjalanan sempat terhenti akibat rel yang rusak. Dalam perjalanan, Firman bertemu dengan seseorang yang mirip Retno, meski ia yakin Retno sudah pergi lebih dulu dengan kereta api pertama. Di akhir cerita, terungkap bahwa mereka adalah saudara kembar yang terpisah.
Film ini menggambarkan berbagai peristiwa heroik di sepanjang perjalanan kereta api. Banyak pihak yang berkorban, mulai dari kepala stasiun, pekerja perbaikan rel, hingga kondektur. Salah satu momen paling mengharukan adalah gugurnya Kondektur Sastro setelah melewati Terowongan Hijau. Ia dimakamkan di bawah rel sebagai penghormatan, seolah-olah tetap 'menemani' kereta yang melintas.
Dalam kereta terakhir, Retno dan Firman juga membantu seorang ibu melahirkan anak perempuan, yang kemudian diberi nama Retno Firmani. Setelah melewati berbagai rintangan, kereta akhirnya tiba di Stasiun Yogyakarta, di mana terungkap fakta bahwa Retno memiliki saudara kembar, dan keduanya mencintai Firman. Di akhir cerita, Letnan Firman kembali bertugas ke medan perang.
Adegan dalam film ini digambarkan dengan sangat realistis. Keramaian stasiun, kepanikan, hingga pengambilan fokus penumpang terasa begitu hidup. Film ini, yang melibatkan hingga 15 ribu pemain dan kru, dinilai sangat melampaui zamannya, mengingat diproduksi pada tahun 1981.
Serangan pesawat cocor merah dengan tembakan dan bom yang meledak juga divisualisasikan dengan apik. Hingga kini, belum ada film bertema perjuangan kemerdekaan yang menyamai sinematik film Kereta Api Terakhir. Keberhasilan film ini tak lepas dari kualitas novelnya yang menjadi dasar adaptasi. Karya Pandir Kelana, yang langsung terinspirasi dari pengalamannya dalam Revolusi Kemerdekaan, memberikan kedalaman pada cerita.
Karakter Kolonel Gatot Soebroto digambarkan autentik sesuai sejarah. Ia dikenal sebagai sosok yang buta huruf namun memiliki gaya bicara unik, seperti memanggil anak buahnya "Monyet," yang justru menjadi tanda keakraban. Ketokohannya berhasil divisualisasikan dengan baik di film.
Film ini layak menjadi tontonan generasi muda untuk menanamkan rasa cinta tanah air. Selain itu, film ini juga merupakan referensi penting bagi siapa pun yang ingin mempelajari sejarah perfilman Indonesia.