Kisah Fiona, Mahasiswi Non-Muslim yang Kuliah di UIN Salatiga
Ahad, 24 Desember 2023 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Kisah Fiona membuka mata terhadap keterbukaan dan inklusivitas Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga dalam mengakomodasi mahasiswa non-Muslim. Bagaimana UIN Salatiga menjembatani perbedaan dan menciptakan lingkungan belajar yang adil bagi semua?
UIN Salatiga tidak hanya menjadi tempat pembelajaran tapi memiliki visi untuk mengembangkan budaya kampus yang mencerminkan nilai-nilai wasathiyah Islam, yakni menjadi pusat keluhuran moderasi Islam, pusat keluhuran sains teknologi, dan seni, serta keluhuran martabat kemanusiaan. Nilai tersebut diaplikasikan dengan merangkul keragaman dengan membuka pintu lebar bagi mahasiswa non-Muslim. Fiona salah satunya. Ia merupakan mahasiswa beragama Kristen Protestan yang berasal Tanah Toraja Sulawesi Selatan.
Selepas lulus SMA, Fiona (19) mendaftar kuliah di berbagai kampus, tetapi selalu gagal. Suatu hari, ia mendapatkan cerita dari Guru SMP jika ada kampus Islam di Salatiga membuka penerimaan mahasiswa non muslim. Guru tersebut meyakinkan bahwa meski kampus bernuansa islami, para mahasiswa non muslim banyak yang kuliah di sana.
Fiona pun yakin dan mulai berdiskusi kepada orang tua tentang tempat studi pilihannya tersebut. Awalnya, ayah Fiona ragu lantaran sang anak harus berkuliah di kampus Islam yang mayoritas dihuni orang Muslim. Orang tua Fiona masih tetap ragu. Sampai akhirnya ketika pihak kampus mengadakan temu virtual dengan calon mahasiswa non-Muslim, ia mengajak serta bapak ibunya untuk mendengar langsung paparan dari pihak kampus.
“Pada saat itu, kami mengadakan zoom sama LP2M dan wakil rektor. Saya didampingi orang tua saya agar bisa mendengarkan sendiri paparan dari pihak kampus. Kemudian kami ngobrol memastikan apakah benar-benar mau kuliah dan ke depannya seperti apa. Puji Tuhan, orangtua mengizinkan asal menjaga keyakinan yang dianut,” tutur Fiona kepada NU Online, Sabtu (23/12/2023).
Pengalaman kuliah di kampus UIN Salatiga
Sejak masih duduk di bangku SMA, pemudi ini mengaku sudah jatuh cinta dengan mata pelajaran TIK. Ilmu yang menurutnya mempunyai prospek karir yang luas sehingga ia pun memilih Program Teknologi Informasi dan Bisnis Digital, jurusan baru di UIN Salatiga. Tak hanya mengikuti proses pembelajaran, Fiona aktif mengikuti sebuah komunits di program studinya.
Fiona mengaku beruntung selama menjalani perkuliahan, ia mendapat beasiswa dari Indonesia Kota Kinabalu yang berada di Sabah Malaysia bekerja sama dengan UIN Salatiga. Keterbatasan ekonomi tidak jadi penghalang baginya untuk belajar di perguruan tinggi dan meraih mimpi.
Pengalaman tak terduga kuliah di kampus Islam
Fiona mengikuti mata kuliah agama Islam di UIN Salatiga, yakni ilmu tauhid dan bahasa arab. Fiona mengaku mendapatkan materi agama juga dari berbagai perspektif. Dosen pengampu mata kuliah tersebut, kerap memberikan pemaparan tentang nilai-nilai universal yang di hampir setiap agama. “Kami diajarkan hal-hal tentang Islam yang masih relevan dengan ajaran kami,” jelasnya.
Tidak hanya penyesuaian dalam hal proses pembelajaran, Fiona mengaku mendapat ruang untuk berkegiatan. Meski di awal kuliah, ia sempat menjadi perhatian mahasiswa lain lantaran tak mengenakan jilbab sebagaimana mahasiswi Muslimah lainnya. Meski beda keyakinan, Fiona tetap bisa kuliah dengan nyaman serta tak mendapatkan diskriminasi. “Perlakuan antarmahasiswa, dosen, atau tenaga pengajar sangat adil,” ujar mahasiswa semester satu ini.
Fiona mengaku senang diperlakukan sama dengan mahasiswa Muslim dan belajar banyak tentang agama Islam, budaya, tradisi yang dianut. Hal itu membuka pemikiran dan wawasan baru baginya, bahwa ajaran Islam juga mengajarkan hal-hal baik dalam berinteraksi dengan sesama tanpa pandang agama. “Puji Tuhan semua terbuka ramah dan bisa menyabut dan menunjukkan sikap saling menghormati toleransi dan kepedulian terhadap orang lain,” ungkapnya.
Perlakuan adil tak hanya ia peroleh dari kampus. Tempat tinggal yang ia huni juga menjunjung tinggi toleransi. Aturan kampus mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa tiinggal di asrama atau pesantren. Fiona memilih tinggal di Asrama Muhammadiyah Plus Salatiga. Di asrama tersebut, Fiona tidak pernah ditekankan menggunakan kerudung seperti halnya mahasiswa lain.
“Saya dapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K) jadi harus mondok atau asrama. Puji Tuhan, asrama saya menjunjung tinggi toleransi-tidak dituntut untuk belajar Al-Qur’an ataupun belajar lain. Kami juga tidak ditekankan untuk menggunakan kerudung,” terang Fiona.
Rektor UIN Salatiga, Prof Zakiyuddin Baidhawy mengatakan kehadiran mahasiswa non-Muslim menambah keragaman di UIN Salatiga. UIN Salatiga memegang nilai washatiyyah, salah satunya adalah bagaimana kampus ini bisa menjadi kampus yang inklusif, yaitu bisa mewadahi generasi muda Indonesia dari suku apa saja untuk belajar. “Kami berkomitmen untuk membantu proses belajar para mahasiswa dengan maksimal,” ujarnya.
Mahasiswa Non-Muslim di PTKIN
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) kini terbuka bagi mahasiswa non-muslim. Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama, Ahmad Zainul Hamdi meminta agar PTKIN yang sudha menerima mahasiswa non-muslim untuk memperlakukannya secara proposional. Hal itu disampaikan Ahmad Zainul Hamdi kepada para Wakil Rektor PTKIN Bidang Akademik dalam Focus Discassion Group (FGD) di Makassar.
Menurut pria yang akrab disapa Inung itu, pimpinan PTKIN yang membuka kran penerima mahasiswa non-Muslim harus mengubah mental agar lebih terbuka dalam menerapkan sistem pendidikan kepada mereka sesuai regulasi yang ada.
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan, jika sudah berani menerima mahasiswa non-muslim kuliah di kampusnya, maka harus memiliki mindset terbuka dan berlaku adil untuk mereka. “Jangan menerapkan aturan kepada mahasiswa non-muslim mengikuti persyaratan pendidikan di kampus, misalnya harus menghafal Al-Qur’an juz 30. Jika mereka mengambil prodi umum, maka berikan pendidikan agama sesuai keyakinan agamanya sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas,” tegas Inung dikutip NU Online.
Termasuk soal berpakaian, mahasiswi non-Muslim tidak dipaksa mengenakan jilbab. “Okelah mereka tidak dibolehkan mengenakan rok pendek, kaos singlet, baju terbuka you can see, atau semacamnya yang kurang pantas, namun jangan pula mereka dipaksa agar mengenakan jilbab,” tuturnya.
“Perlakukan mereka berpakaian sesuai kode etik berdasarkan keadaban publik, yang penting sopan dan pantas dalam masayrakat kita,” tandasnya.