Komisi Organisasi Bahas Pemilihan Ketua Umum PBNU melalui Sistem Ahlul Halli wal Aqdi
Rabu, 22 September 2021 | 01:00 WIB
Pemilihan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur dilakukan melalui musyawarah mufakat di antara sembilan anggota ahlul halli wal aqdi (ahwa) yang dipilih langsung oleh muktamirin.
Jakarta, NU Online
Komisi Organisasi pada Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama Tahun 2021 bakal membahas perubahan mekanisme pemilihan ketua tanfidziyah melalui ahlul halli wal ‘aqdi (ahwa), sebagaimana pemilihan rais syuriyah yang dilakukan mulai Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur.
Anggota Komisi Organisasi Munas dan Konbes NU Tahun 2021 KH Bukhori Muslim menyampaikan bahwa pembahasan materi ini didasarkan masukan dari beberapa wilayah. Mereka, katanya, melihat pemilihan dengan mekanisme ini berjalan lancar, penuh khidmat, dan tanpa gejolak. Dengan begitu, dipandang hal tersebut lebih maslahat.
“Ada yang lebih maslahat, kenapa sih kita tidak coba gunakan ini,” katanya kepada NU Online pada Selasa (21/9/2021).
Ia menjelaskan bahwa NU berpegang pada kaidah al-muhafadhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah ilaa maa huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah, menjaga hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik dan terus lebih baik.
Hal ini pula didukung dengan ketiadaan mekanisme pemilihan pemimpin yang pasti diatur secara syariah. “Pemilihan itu secara Syariah tidak qat’i (pasti),” kata Sekretaris Lembaga Dakwah (LD) PBNU itu.
Sebagaimana diketahui, ia mencontohkan, peralihan kepemimpinan dari Nabi Muhammad saw kepada Sayyidina Abu Bakar, lalu kepada Sayyidina Umar bin Khattab, kemudian kepada Sayyidina Utsman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dilakukan dengan mekanisme yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, Kiai Bukhori menjelaskan bahwa pemilihan rais syuriyah dan ketua tanfidziyah melalui mekanisme ahwa akan mengurangi rasa kecewa yang kerap kali mengemuka ketika calon yang diharapkannya tidak terpilih.
“Ketika dipilih oleh para pengurus wilayah dan cabang, calonnya itu tidak terpilih, kan ada kekecewaan. Itu ingin diminimalisasi. Mekanisme ahwa diirasakan akan meminimalisir rasa-rasa itu,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Pemilihan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur dilakukan melalui musyawarah mufakat di antara sembilan anggota ahlul halli wal aqdi (ahwa) yang dipilih langsung oleh muktamirin. Hal serupa juga diterapkan untuk pemilihan rais syuriyah di semua tingkatan. Untuk wilayah, rais syuriyah dipilih langsung oleh tujuh anggota ahwa, sedangkan di tingkat cabang, cabang istimewa, wakil cabang, dan ranting dipilih oleh lima anggota ahwa. Demikian ini termaktub dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Bab XIV Pemilihan dan Penetapan Pengurus Pasal 40 sampai 46.
Dalam draf Munas dan Konbes NU 2021, disebutkan bahwa perubahan mekanisme pemilihan ketua tanfidziyah melalui sistem ahwa didasari atas pertimbangan bahwa selama lima tahun pemberlakuan mekanisme ahwa dalam pemilihan rais syuriyah berjalan dengan lancar, khidmat, dan ditaati semua pihak.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan