Jakarta, NU Online
Maraknya kasus kekerasan di dunia pelajar, menunjukkan rendahnya komitmen negara terhadap perlindungan anak. Apalagi, banyaknya kasus tawuran pelajar belakangan ini di saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencar mensosialisasikan pendidikan karakter, malah kriminalitas anak meningkat.
<>
“Merebaknya kembali kasus tawuran antar pelajar yang menimbulkan korban jiwa merupakan sebuah anomali yang menunjukkan kebijakan pemerintah hanya berkutat di wilayah verbal. Berbagai kebijakan pro anak, nampak sangat verbalisttik. Ada kebijakan kota layak anak, tetapi anak jalanan ditemukan hampir 24 jam. Kejadian tawuran yang menewaskan pelajar secara beruntun dalam dua pekan terakhir, sungguh harus dijadikan perenungan mendalam,” tandas Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa di Jakarta, Senin (1/10).
Karena itu, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan era Gus Dur ini mendesak pemerintah bertindak nyata dalam menangani perlindungan terhadap anak. Diantaranya dengan melaksanakan sejumlah regulasi yang ada secara tegas dan penuh komitmen. “Regulasi baru efektif jika ada punishment. Terhadap kasus anak nakal, misalnya, maka punishment juga harus diberikan kepada orangtua atau lembaga dimana anak tersebut dididik. Jangan hanya anaknya yang dihukum,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika ada anak usia sekolah berada di jalanan saat jam belajar, maka orang tuanya juga harus mendapatkan punishment. “Jika ada anak pakai seragam sekolah, pada jam belajar melakukan tindakan pidana atau perdata, maka sekolah harus bertanggung jawab,” katanya.
Khofifah mengaku prihatin dengan makin maraknya kasus kekerasan terhadap anak. Hal itu menurut Khofifah terjadi lantaran banyak hal. Diantaranya, anak-anak terpengaruh oleh sajian kekerasan melalui tayangan film, sinetron, game dan buku-buku cerita atau komik.
“Kekerasan di lingkungan pelajar juga terpengaruh oleh banyaknya kasus kekerasan di lingkungan masyarakat yang diabaikan oleh aparat. Dalam berbagai adegan film, bahkan sering kekerasan tanpa diakhiri dengan punishment. “Itu juga bentuk pengabaian kekerasan yang makin meluas. Eksploitasi anak oleh orang tua, baik sebagai anak jalanan maupun penyimpangan seksual, juga dapat disaksikan dimana-mana, dibiarkan, tanpa ada keberanian negara untuk menyelesaikannya,” ungkapnya.
Karena itu, Khofifah mengusulkan perlunya perbaikan pola pendidikan di lingkungan sekolah umum, yang merujuk pada pola pendidikan madarasah dan pesantren. “Pendidikan sebaiknya meliputi empat hal. Yakni ta'lim (memberi pengetahuan), tarbiyah (mengasuh), tadris (berusaha sungguh-sungguh), dan ta'dib (mengajari akhlak). Di sekolah-sekolah non pesantren, katanya, rata-rata pendidikan hanya melingkupi ta'lim, ta'dib dan tadris. Proses tarbiyah sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada,” tuturnya.
Ia juga menyitir prinsip pendidikan yang disampaikan Sayyidina Ali Bin abi Thalib, yang mengajarkan proses pendidikan melingkupi tiga tahap. Yakni pada usia nol hingga tujuh tahun perlu dididik melalui permainan. “Kemudian pada usia 7 tahun hingga 14 tahun dididik karakter dan ahlaknya, dan umur 14 tahun ke atas, dididik etika pergaulannya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," katanya.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Munif Arpas