Komnas Haji dan Umrah Beberkan Konsekuensi Umrah Mandiri
Jumat, 31 Oktober 2025 | 21:30 WIB
Jakarta, NU Online
Umrah mandiri resmi legal melalui setelah DPR RI dan pemerintah menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2025 tentang perubahan ketiga, Undang-Undang nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Hal ini di satu sisi memang memberikan kemudahan bagi jamaah, seperti efisiensi anggaran yang bisa mencapai 50 persen, hingga kebebasan perjalanan dan fleksibilitas ibadah. Namun di sisi lain, hal demikian tentu menyisakan pertanyaan, terutama perihal perlindungan jamaah.
"Satu hal lagi yang harus diperhatikan bagi mereka yang memilih menggunakan umrah mandiri ini, tentu segala risiko-risiko selama perjalanan, dari sejak dia take off pesawat dari tanah air sampai dengan kepulangan, kemudian pada saat dia ada di Saudi tentu tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mereka yang menggunakan travel," kata Mustolih Siradj, Ketua Komnas Haji dan Umrah, kepada NU Online pada Kamis (30/10/2025).
Baca Juga
Umrah Mandiri Perlu Regulasi Lebih Rinci
"Semuanya risikonya ditanggung sendiri, risiko penipuan, risiko tersesat, risiko sakit, bahkan kemudian yang paling ekstrem adalah ya, na'udzubillah, misalnya sampai meninggal," lanjutnya.
Hal berbeda dengan misalnya dengan umrah yang menggunakan travel. Pasalnya, travel memanggul tanggung jawab semuanya, mulai keberangkatan, peribadatan, hingga kepulangan. "Kan semuanya menjadi tanggung jawab daripada travel," terangnya.
Secara manasik ibadah, jelas Mustolih, juga jamaah umrah lebih tenang karena ada yang memandu. Pun ibadah sudah terjadwal. Jika ada insiden tersesat hingga tindak pidana, misalnya, akan ditangani oleh travel.
"Nah ini tentu pilihan konsekuensi-konsekuensi kenapa kemudian umrah menggunakan travel dianggap lebih mahal," ujar dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Bahkan jika mengacu pada aturan harga yang dulu pernah diterbitkan oleh Kementerian Agama, Rp26 juta, dianggapnya angka itu jika mereka yang suka travel dan mengurus sendiri itu bisa lebih murah.
"Bahkan bisa menurut informasi ya itu sampai dengan 50 persen efesiensinya. Nah tentu ini ada plus dan minusnya," katanya.
Bagi Komnas Haji, situasi seperti ini memang agak sulit untuk dihindari Pemerintah. Karenanya, ia bisa memahami kenapa kebijakan ini bisa muncul karena memang situasinya sekarang sudah menerapkan serba digital.
"Peran-peran jasa perantara begitu ya, seperti halnya travel ini juga tergantung mereka kemudian merespons kebijakan ini ya dengan inovasi-inovasi dan kemudian terobosan-terobosan sehingga bisa tetap mendapatkan atau mendapatkan kue keekonomian daripada umrah ini," lanjutnya.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan sejumlah catatan lain terkait umrah mandiri ini. Pertama, ada kesan umrah mandiri membuka keran bagi pelaku-pelaku usaha asing secara bebas membuka peluang menawarkan produk-produknya.
"Dalam pengertian, ini kan semua diurus sendiri. Tapi kan harus tetap jasa perantara. Misalnya sekarang menggunakan Nusuk Arab Saudi melalui katakanlah sektor BUMN-nya itu kan menerapkan Nusuk. Namanya Nusuk itu semacam aplikasi yang bisa mengurus semua aspek," katanya.
Artinya, pengurusan visa, hotel, transportasi dan, makan, hingga wisata bisa diurus di aplikasi Nusuk. Dari situ, tampak bahwa jamaah memberikan kucuran defisa kepada Arab Saud. Di sisi lain, norma undang-undang 14 Nomor 2025 itu, entitas bisnis asing itu tidak diberikan syarat ketika mereka membuka layanan begitu.
"Nah ini yang kemudian dianggap oleh teman-teman travel Ada semacam ketidakadilan, kekurangberpihakan Pembuat undang-undang terhadap lelaki usaha dalam negeri sendiri," katanya.
"Belum lagi, kalau Nusuk misalnya jelas punyanya Arab Saudi, nanti kalau misalnya ada aplikasi atau aplikator-aplikator atau e-commerce yang menawarkan jasa dari negara lain di luar Nusuk. Misalnya kan boleh-boleh saja, Nah ini yang kemudian harus terhadap proteksi negara kita," lanjutnya.
Oleh karena itu, ia menyampaikan perlu ada strategi juga bagi pemerintah Indonesia untuk tidak melepas begitu saja umrah mandiri. "Kalau ada aplikasi-aplikasi yang menawarkan umrah mandiri dan kemudian ada benefit misalnya diskon, ada cashback Itu harus misalnya menggunakan maskapai nasional kita," katanya.
Ia menegaskan agar negara tidak hanya mengirim jamaah, tapi tidak mendapatkan apa-apa secara ekonomi. Justru sebaliknya karena jamaah Indonesia besar bisa mencapai 1,8 juta orang per musim, terutama puncaknya menjelang akhir tahun dan bulan puasa sampai Syawal.
"Itu kan berbondong-bondong masyarakat ke sana. Apa kita cuma melihat begitu saja masalah kita datang tanpa kemudian mendapatkan manfaat dan tadi proteksi terhadap pelaku usaha atau keberpihakan kepada pelaku usaha umrah tadi," katanya.
"Karena itu saya kira ini menjadi PR," pungkasnya.