Jakarta, NU Online
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi sorotan publik karena mengeluarkan pernyataan yang dinilai membela AG, anak di bawah umur yang menjadi pelaku penganiayaan Crystalino David Ozora.
Salah satunya, KPAI menyoroti sikap hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara yang memvonis AG 3 tahun 6 bulan. KPAI menilai, hakim sangat rinci dalam membacakan pertimbangan untuk AG sampai aktivitas seksual diungkap ke publik.
Seluruh pernyataan KPAI yang dinilai membela AG itu tertuang dalam keterangan pers berjudul Setiap Anak Berhak atas Diperlakukan Adil, termasuk AG.
Kuasa hukum David, Mellisa Anggraini angkat bicara. Ia mengkritik sikap KPAI yang sangat kentara membela kepentingan AG. Mellisa pun mengungkap bahwa dalam proses musyawarah diversi, tak ada satu pun institusi yang bicara mengenai kondisi David.
"Saya masih ingat jelas, pada saat musyawarah diversi seluruh institusi anak yang mendampingi proses itu semua hanya menyampaikan terkait pelaku anak, bahkan ada instiitusi yang semestinya concern terhadap korban juga tidak menyampaikan apa pun terkait korban," kata Mellisa dalam cuitan di twitter, Selasa (17/4/2023).
Ia mengatakan, hakim-hakim yang menjadi fasilitator dalam proses musyawarah itu sampai bertanya lantaran tidak ada yang menyampaikan pembelaan kepada korban. Padahal sehari sebelum itu, Mellisa mengaku bertemu dengan KPAI di Polda Metro Jaya. Saat bertemu, Mellisa banyak menyampaikan terkait kondisi David.
"Akhirnya hanya saya dan pihak keluarga korban yang menyampaikan kondisi David dari awal sampai musyawarah itu dilakukan. Selesai musyawarah saya protes dan sampaikan kekecewaan. Sorenya untuk pertama kalinya yang bersangkutan datang ke rumah sakit," jelas Mellisa.
Kini, menurut Mellisa, KPAI mendorong hakim dan jaksa untuk diperiksa demi melindungi AG.
"Sekarang mereka dorong hakim, jaksa dan entah siapa lagi diperiksa demi melindungi pelaku anak. Padahal dalam putusan itu harkat dan martabat anak korban juga kena, kok tidak ada anak korban di-mention?" kata Mellisa, mempertanyakan.
Lebih lanjut, Mellisa mengatakan bahwa pada saat David difitnah melakukan pelecehan terhadap AG, tidak ada pernyataan dari KPAI yang mengecam pihak-pihak pelempar fitnah tersebut.
"Padahal nyata-nyata saat itu David sedang koma. Yang pertama kali datang setelah diversi itu bukan komisi itu tapi institusi yang lain. Komisi itu sudah datang saat anak (David) masih koma bertemu orang tua. Kalau saat ini sepertinya lagi sibuk," kata Mellisa.
Berikut ini beberapa hal yang menjadi perhatian KPAI terkait persidangan AG:
1. Identitas AG
KPAI menegaskan, identitas anak berhadapan hukum wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak dan elektronik. Di antara hal yang termasuk identitas anak adalah nama, alamat, nama orang tua, nama sekolah, termasuk wajah anak.
Berdasarkan hasil pemantauan media, terdapat beberapa media online dan televisi yang mencantumkan identitas anak secara jelas dan rinci terhadap anak dan keluarganya. Praktik ini telah melanggar pasal 19 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda Rp200.000.000 (Pasal 97 UU SPPA).
2. KPAI Kritik Wartawan
KPAI juga mengkritik wartawan yang berkerumun saat pemeriksaan AG selama di kepolisian. Salah satu yang disorot KPAI adalah ketika kerumunan media yang mencegat AG ketika hendak masuk ke mobil. Keterangan psikolog dan pekerja sosial pendamping AG menyebutkan kejadian itu membuat AG trauma.
Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik.
Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi, sebagaimana diatur dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak.
3. Pembacaan Identitas AG
KPAI mengutip General Comment Nomor 24 tahun 2019 dari Komite Hak-hak Anak yang menyebutkan bahwa putusan di persidangan terbuka, namun identitas anak harus tetap dirahasiakan, sebagaimana diatur dalam pasal 61 UU SPPA.
KPAI menegaskan, perlindungan identitas anak dijaga serius untuk menghindarkan stigma dan labelling pada anak, karena fokus peradilan pidana adalah koreksi terhadap perbuatan anak bukan untuk balas dendam.
4. Aktivitas Seksual AG Dibacakan
KPAI juga menyoroti pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka. Hakim menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci. Pembacaan yang cenderung rinci itu bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana.
KPAI menegaskan bahwa hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak.
5. Pemeriksaan Psikolog Forensik
Berdasarkan pengawasan KPAI pada saat persidangan dan dikonfirmasi oleh kuasa hukum AG, bukti petunjuk berupa analisis pemeriksaan dari psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan di persidangan (nihil). Padahal sebelumnya AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak 3 (tiga) kali.
KPAI berpandangan bahwa hasil telaah psikologis anak menjadi penting, selain hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) Bapas, karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh. Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya.
6. Soal Vonis AG
KPAI menyampaikan bahwa perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin (pasal 37 ayat B Konvensi Hak Anak). Data Mahkamah Agung tahun 2020, yang petik dari Peta Jalan Penguatan SPPA 2023-2027, menunjukkan 88,61 persen anak mendapatkan vonis pidana penjara.
Umur kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya, UU SPPA memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir.
Artinya, paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara. Penempatan AG di LPKS selama proses hukum telah tepat karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial.
Namun vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA.
7. Keterbatasan Fasilitas LPKA/LPAS
KPAI melibat bahwa keterbatasan fasilitas LPKA/LPAS bagi anak perempuan berupa belum tersedia blok khusus, maupun petugas pengasuh serta ketiadaan psikolog anak berpotensi menambah beban mental anak.
Anak perempuan, termasuk AG, memiliki kebutuhan khusus yang spesifik. Mereka juga membutuhkan role model positif dan ruang gerak yang aman sehingga perlu melibatkan berbagai profesi (konselor, pekerja sosial, psikolog) untuk menentukan tempat menjalani pidananya dan intervensi program rehabilitasinya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad