Lebih Dulu Mana, Agama apa Budaya? Ini Penjelasan Lukman Hakim Saifuddin
Rabu, 17 Mei 2023 | 21:00 WIB
Lukman Hakim Saifuddin saat mengisi TOT Penggerak Moderasi Beragama di Pusdiklat Kementerian Agama RI di Ciputat, Rabu (17/5/2023). (Foto: NU Online/M Faizin)
Jakarta, NU Online
Di masyarakat terkadang muncul pertanyaan: Lebih duluan mana yang ada di dunia ini, agama atau budaya?
Menjawab pertanyaan ini Menteri Agama RI periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa ajaran agama turun di muka bumi bukan di ruang hampa. Agama turun di tengah komunitas masyarakat.
Sementara masyarakat yang menerima agama ini sudah memiliki budaya dan tradisi masing-masing. Sehingga jawabannya menurut Lukman, budaya lebih dulu ada dibanding dengan agama.
"Budaya lebih dulu ada, baru agama hadir," jelasnya di hadapan tokoh agama yang mengikuti TOT Penggerak Moderasi Beragama di Pusdiklat Kementerian Agama RI di Ciputat, Rabu (17/5/2023).
Akibat pertemuan agama dengan budaya ini, maka terjadilah akulturasi dan inkulturasi. Budaya menjadi wadah ajaran-ajaran agama untuk diaktualisasikan. "Tanpa budaya agama melayang-layang saja ajarannya. Tidak bisa membumi," tegasnya.
Agama turun ke dunia ini terang Lukman, membawa pesan-pesan utama atau pokok yang bersifat universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan. Tidak ada ajaran agama yang membolehkan kekerasan atas nama agama.
Selain itu, ada juga ajaran agama yang bersifat partikular atau cabang yang di sini memiliki potensi perbedaan penafsiran. Tidak semua umat beragama sepakat dengan ajaran agama yang bersifat partikular termasuk sesama pemeluk agamanya. Hal ini bisa dilihat di masyarakat seperti perbedaan shalat pakai qunut atau tidak pakai qunut.
Atas perbedaan yang ada pada ajaran agama yang bersifat partikular (cabang) ini menurutnya cukup disikapi dengan toleransi. "Jangan punya obsesi untuk menyeragamkan ini. Kita nggak akan mungkin, mustahil karena ini akan melanggar takdir Tuhan. Ini given. Ini sunnatullah," tegasnya.
Pada ajaran agama yang bersifat universal, tidak boleh ada pemeluk agama yang mengingkari dan menyimpanginya atas alasan apa pun juga. Jika ada paham keagamaan yang bertentangan dengan inti ajaran agama, maka masuk dalam kategori ekstrem, berlebih-lebihan dan melebihi batas.
"(Kelompok) Ini yang perlu dimoderasi," tegasnya.
"Bagaimana mungkin atas nama agama, di mimbar-mimbar agama menebarkan caci maki, ujaran kebencian kepada orang lain," imbuhnya.
Sekeras, sebesar, dan setajam apapun perbedaan yang ada, tidak bisa dijadikan alasan untuk menyimpangi inti pokok ajaran agama yang bersifat universal. Jika ajaran pokok disimpangi oleh paham agama tertentu maka menurutnya paham ini masuk dalam kategori tidak moderat.
Itulah pentingnya bersikap moderat dalam beragama yang saat ini dilakukan melalui program moderasi beragama. Moderasi beragama mengajak kepada para pemeluk agama untuk memiliki cara pandang, sikap, dan prilaku beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama.
Ajaran agama ini bersifat melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan