Lukman Saifuddin: Moderasi Beragama itu Cara Pandang, Bukan Ideologi
Jumat, 7 Agustus 2020 | 15:15 WIB
Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin saat mengikuti sebuah acara di Auditorium KH M Rasjidi Kemenag Thamrin Jakarta. (Foto: Dok. Humas Kemenag)
Jakarta, NU Online
Bangsa Indonesia terkenal memiliki cara pandang beragama yang moderat. Moderasi beragama telah menjadikan bangsa Indonesia tetap aman dan tenteram. Hakikat moderasi beragama adalah cara pandang, bukan ideologi.
Penegasan tersebut disampaikan Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, saat menjadi narasumber pada diskusi daring bertema Moderasi Beragama dalam Perspektif Islam Nusantara yang diinisiasi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jumat (7/8).
"Jadi, moderasi beragama adalah terkait proses memahami dan mengamalkan agama agar selalu pada jalur yang moderat. Artinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak ekstrem," jelasnya.
Meski bukan negara agama, lanjut Lukman, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat agamis. Hal ini terbukti sejak dulu sebelum merdeka, aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa memisahkan diri dengan nilai-nilai agama.
"Tidak dijumpai satupun etnis di Indonesia yang tidak melibatkan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan nilai-nilai agama. Keberadaan agama sangat vital tidak bisa dipisahkan," tandas putra bungsu Menag KH Saifuddin Zuhri ini.
Ia menambahkan, moderasi beragama berada pada dua kutub cara pandang beragama, yakni tekstual dan kontektual. Kutub tekstual memahami agama sebatas makna teks dan mengabaikan konteks teks tersebut. Sementara kutub kontekstual mendewakan nalar dalam memahami teks.
"Semajemuk apapun tafsir terhadap agama, cara pandang harus dijaga dalam koridor sikap moderat. Cara pandang ini sama-sama mengancam agama itu sendiri," terang Lukman.
Upaya menjaga moderasi beragama, kata dia, harus terus diupayakan karena kedua kutub cara pandang (tekstual dan kontekstual) ini selalu dinamis. Jadi, moderasi juga harus dinamis dengan berprinsip pada dua hal, yakni keadilan dan keseimbangan.
Lalu apa tolok ukur orang yang moderat dalam agama? Seseorang disebut moderat dalam beragama jika mengedepankan kemanusiaan dalam tindakan. Menurut dia, agama adalah kemanusiaan sehingga orang berlaku tidak berada pada koridor ini atau merusak sisi kemanusiaan dalam beragama, ia tidak bisa disebut moderat.
"Dalam konteks keindonesiaan, komitmen kebangsaan menjadi ukuran moderat tidaknya seseorang dalam beragama. Tidak boleh atas nama agama, seseorang merusak sendi-sendi berbangsa,” tegasnya.
“Moderat dalam beragama juga mengakomodasi kebudayaan lokal yang luhur. Kalau ada yang bertentangan, harus dengan pendekatan persuasif karena agama tidak bisa dibawa dengan kekerasan," pungkasnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori