Jakarta, NU Online
Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengingatkan bahwa media sosial dapat mengelompokkan masyarakat pada sebuah identitas tertentu. Dalam jangka panjang, ia dapat mengarahkan masyarakat menjadi homogen yang berpotensi mengarah pada fanatisme. Kelak, fanatisme dapat menjadikan masyarakat tidak toleran pada kelompok-kelompok yang berbeda.
“Maka ketika sebuah kelompok menjadi sangat homogen, dia akan cenderung menjadi tidak toleran terhadap yang berbeda, baik berbeda suku, agama, hingga pilihan politik. Hal ini menjadi masalah ketika fanatisme itu menjadi tumbuh subur dalam kelompok-kelompok itu,” ujarnya di Jakarta, Jumat (25/12)
Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk menghindari bermedia sosial dengan fanatik, baik kepada tokoh politik atau kepada siapapun yang berpotensi membuat tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda. Sebab sikap fanatik akan membuat masyarakat kehilangan objektivitas dan hanya melihat sudut pandang dari satu orang saja.
Ia mengingatkan masyarakat agar memegang prinsip ‘tidak main hakim sembarangan’ saat berselancar di media sosial. “Jangan buru-buru menghakimi ketika ada suatu permasalahan, harus dilihat dari berbagai perspektif,” ucap Eko.
Libatkan tokoh masyarakat dalam literasi digital
Septiaji Eko menambahkan, di tengah kondisi derasnya arus informasi, diperlukan peningkatan kemampuan dalam memahami informasi dan platform digital. Tak hanya itu, literasi digital ini, lanjut dia, harus melibatkan tokoh masyarakat sehingga dapat meraih kepercayaan masyarakat lebih luas.
“Maka kalau kita lihat di Indonesia, setiap upaya baik itu literasi digital atau pemberian pemahaman kepada masyarakat itu perlu untuk merangkul para tokoh masyarakat. Apalagi kalau terkait dengan isu kerukunan, bentuk forum-forum silaturahmi untuk meredam berbagai isu yang meresahkan di masyarakat,” jelas Eko.
Kolaborasi antara literasi digital yang dilakukan bersama tokoh masyarakat diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia digital sekaligus di saat yang bersamaan mampu membangun sikap toleran.
Jika literasi digital menekankan skill (kemampuan) dalam dunia digital termasuk dalam menyaring informasi, maka keterlibatan tokoh diharapkan membantu dalam membuat narasi perdamaian untuk melawan narasi provokatif.
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin