Nasional

Ini Makna Adat Jawa di Pernikahan Kahiyang-Bobby

Kamis, 9 November 2017 | 04:36 WIB

Pekalongan, NU Online

Pernikahan Kahiyang Ayu, putri Presiden Joko Widodo yang digelar tanggal 8 November 2017 dengan Mohammad Bobby Afif Nasution dilaksanakan dengan adat Jawa. Sehari sebelum akad nikah, ada kegiatan pemasangan bleketepe.

Tradisi membuat blaketepe atau anyaman daun kelapa untuk dijadikan atap atau peneduh saat resepsi pernikahan merupakan tradisi peninggalan dari Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram.

Saat mempunyai hajat menikahkan anaknya, Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang di luar rumah diteduhi dengan daun kelapa itu.

Bleketepe
biasa terbuat dari daun kelapa yang masih hijau dengan ukuran 50x200 cm. Bleketepe yang dipasang mengelilingi area pernikahan merupakan perwujudan dari penyucian di kahyangan para dewa yang dinamakan bale katapi.

Bale artinya tempat, sedangkan katapi berasal dari kata tapi yang artinya memisahkan kotoran kemudian dibuang. Dengan demikian, bleketepe artinya adalah orang tua pengantin yang mengajak pasangan pengantin untuk menyucikan diri.

Pemasangan bleketepe ini juga diiringi dengan acara pemasangan tuwuhan. Jika bleketepe artinya kerja sama antara orang tua dan calon pengantin, berbeda dengan tuwuhan yang artinya harapan orang tua kepada pengantin untuk segera dapat memperoleh keturunan.

Dalam tuwuhan terdiri dari pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Pilihan pisang raja memiliki filosofi bahwa pasangan pengantin ini kelak memiliki kemakmuran dan kemuliaan seperti para raja.

Kedua, tebu wulung memiliki filosofi pengharapan, setelah memasuki jenjang pernikahan kedua mempelai memiliki jiwa bijaksana. Cengkir gadhing sebagai simbol kandungan, daun randu melambangkan sandang dan pangan dengan harapan mempelai dapat tercukupi kebutuhan sandang dan papannya. Dan terakhir adalah aneka dedaunan yang memiliki filosofi pasangan dalam menjalani pernikahan terbebas dari segala halangan.

Wakil Pengageng Sasana Wilapa Kasunanan Surakarta KPA Winarno di Solo mengatakan, bleketepe (anyaman blarak/daun kelapa) biasanya dipasang sehari sebelum pelaksanaan pernikahan.

"Pemasangan bleketepe yang dilakukan oleh orang tua pengantin merupakan awal pemasangan tarub," katanya.

KPA Winarno menjelaskan secara umum seluruh rangkaian pernikahan dalam adat Jawa mengandung filosofi yang dalam. Ia melanjutkan setelah pemasangan bleketepe akan disusul dengan prosesi adang pertama atau menanak nasi pertama.

"Menaikkan tarub, bapak mempelai wanita naik tangga dan ibu berikan anyaman blarak setelah turun pasang tuwukan pisang basah. Kemudian ada acara siraman untuk mempelai wanita di dalamnya ada rangkaian ada jualan dawet," katanya.  

Misalnya, tarub dalam sejarahnya Ki Ageng Tarub memasang peneduh untuk tamu yang hadir dalam acara pestanya. Lalu adang pertama dimaksudkan agar tuan rumah bisa memberi makan sanak saudara yang mendukung terlaksananya pesta.

Lalu prosesi siraman mempelai wanita melambangkan upaya penyucian diri secara lahir dan batin karena esok harinya bersiap menerima wahyu jodoh. Sedangkan malam midodareni, kata KPA Winarno, melambangkan turunnya para bidadari pada malam hari untuk memberikan keberkatan kepada calon pengantin.

Esok harinya dilaksanakan akad nikah berlanjut dengan ritual temu panggih dimana mempelai pria menginjak telor yang melambangkan keturunan. Mempelai wanita membasuh kaki mempelai pria menyimbolkan rasa baktinya.

Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj menekankan bahwa amanat budaya dan amanat agama sama-sama penting dan harus dijaga serta dirawat. Budaya harus dijadikan infrastruktur agama dan agama dibangun di atas pondasi budaya. Pesan tersebut ia sampaikan saat menghadiri pernikahan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dengan Bobby Nasution.

Sikap kaum Nahdliyin mampu menyesuaikan antara agama dan budaya Jawa, khususnya dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Itulah sebabnya, kaum Nahdliyin sangat akrab dengan budaya lokal seperti pemasangan bleketepe dalam pernikahan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ki Ageng Jaka Tarub dan mempunyai tradisi yang sangat kuat untuk menjalankan syari’at Islam.

Cara yang ditempuh NU dalam menghadapi budaya local adalah kompromi, tidak bersikap destruktif, tetapi sedapat mungkin membiarkannya tetap hidup dimasyarakat sambil mengisinya dengan jiwa dan semangat Islam. Inilah yang menjadi salah satu sumber kekuatan NU sehingga lahirnya NU tidak berhadapan dengan budaya lokal masyarakat, bahkan mampu menyatukan aspirasi kebudayaan dengan aspirasi keislaman. (Abdul Muiz/Abdullah Alawi)


Terkait