Jakarta, NU Online
Masalah Al Qaeda tidak bisa dipandang sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan aparat keamanan. Mungkin saja demikian bagi negara-negara nonmuslim. Namun tidak bagi negara-negara Islam, atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia.
<>
Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum H As’ad Said Ali dalam peluncuran buku karyanya, "Al Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya" di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (26/9).
Mantan Wakil Kepala BIN itu mengatakan, Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik dengan ideologi jihad yang kuat, serta mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin.”
“Kalimat demikian di telinga masyarakat kita terdengar biasa, tetapi karena dilandasi oleh ideologi yang agresif, maka maknanya berubah menjadi perang melawan peradaban, termasuk perang melawan kaum muslimin di luar Al Qaeda. Menurut pendapat saya, langkah Al Qaeda ini lebih banyak mudharat-nya daripada maslahat-nya bagi umat Islam,” ujarnya.
Penyimpangan Makna Jihad
Menurut penerima gelar doktor honoriscausa dari Undip Semarang ini, esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’ selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Sementara jihad yang lebih besar lagi adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
“Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah,” terangnya.
Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Agama Islam tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam); demikian menurut pendapatnya.Terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu kesatuan di bawah pemimpin khalifah.
Meskipun demikian, lanjut As’ad, di kalangan Al Qaeda tidak ada kesatuan pandangan tentang apa yang dimaksud khilafah. Osama mengakui kekhalifahan ala Taliban. Kemudian juga mengakui kekhalifahan yang dideklarasikan oleh Abu Mus’ab Al Zarqawi di Irak pada 2005. Sebaliknya, orang kedua Al Qaeda, Ayman Az Zawahiri, membayangkan bahwa kekhalifahan Islam yang dimaksud adalah model khilafah Usmaniyah di Turki.
“Tidak hanya berhenti di situ. Doktrin kekhalifahan tersebut kemudian menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang menyeramkan. Yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip kekhalifahan tersebut. Padahal, umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Qur’an berarti ‘kepemimpinan umat’ dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan,” urai penulis buku Ideologi-ideologi Pasca Reformasi ini..
Konsekuensinya, kata As’ad, dalam konsep ideologi Al Qaeda, yang dianggap musuh bukan hanya pemerintahan Barat, tetapi juga pemerintahan di negara-negara muslim seluruhnya. Dan atas dasar itu, Al Qaeda membagi musuh menjadi dua: “musuh jauh” dan “musuh dekat.”
“Musuh jauh berarti AS/Barat. Sedangkan musuh dekat adalah pemerintah muslim di mana elemen-elemen Al Qaeda berada. Dalam pandangannya, musuh dekat lebih mudah dihancurkan sedangkan musuh jauh telah dihancurkan,” paparnya.
Acara peluncuran ini diikuti bedah buku oleh pengamat politik dan pengaji Timur Tengah Fachri Ali, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat, dan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. Buku yang terdiri dari 8 bab ini merupakan buah pengamatnnya selama ini, termasuk pengalaman saat bertugas sebagai pejabat BIN di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. (Mahbib Khoiron)