Bekasi, NU Online
Maulid adalah isim zaman dan isim makan dari walada. Walada, kata kerja lampau, berari telah lahir. Sedangkan Maulid bermakna hari dilahirkan atau tempat kelahiran. Dalam tradisi Islam Nusantara, maulid memiliki tiga makna.
<>
Pertama, bulan. Bulan yang dimaksud adalah bulan dalam almanak Hijriyah, yakni Robi’ul Awal. Muslim Nusantara tidak menggunakan Robi’ul Awal, melainkan dengan sebutan Maulid, disebabkan karena bulan tersebut merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya tanggal 12 Maulid. Penyebutan Maulid pun rasanya lebih muda ketimbangan Robi’ul Awal.
Orang Jawa, orang Sunda, orang Banjarmasin, orang Jakarta, dan lain-lain menyebut bulan Robbi’ul Awal dengan Maulid atau Mulud.
Sementara orang Madura menyebut dengan Molod dan Molot. Orang Aceh menyebut dengan Moloed. Bulan ini sangat dihormati, bahkan disebut bulan suci. Bulan maulid dianggap suci, karena orang suci dilahirkan. Ramadlan dikenal dengan bulan suci, karena pada waktu itulah kitab suci diturunkan. Ada lagu yang masyhur tentang bulan Maulid karya Nasida Ria, “Bulan maulid bulan yang suci”.
Makna kedua dari Maulid adalah hari pringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dalam kalender Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Robi’ul Awal. Pada tanggal 12 Maulid itu, umat Islam Nusantara, terutama pemegang Madzhab Aswaja, berkumpul di tempat yang disepakati, di masjid atau surau, di pesantren atau tempat-tempat bersejarah seperti keraton, hingga alun-alun kota.
Di Yogyakarta, Keraton mengadakan Grebeg Maulid pada tanggal 12 Maulid. Di Keraton Kasepuhan, ada tradisi Malam Panjang Jimat, di tanggal hari kelahiran Nabi SAW. Di desa-desa Nusantara, tanggal 12 Maulid dirayakan dengan membaca sejarah Nabi SAW yang terdapat di kitab al-Barzanji, dan lain-lain. Pada hari tersebut juga, perayaan identik dengan acara makan-makan bersama atau bancakan seusai acara inti. Di Yogyakarta, ada Gunungan yang terbuat dari aneka macam makanan, bahkan di Padang Pariaman, ketika Maulid ada makanan khas, yakni Lemang.
Ketiga, Maulid bermakna pengajian umum yang dikhususkan untuk mempringati kelahiran Nabi Muhammad. Penyelenggraan pengajian ini tidak terikat tanggal 12 Maulid. Ia bisa dilakukan ditanggal 1, 9, 23 Maulid dan seterusnya. Pengajian ini dikenal dengan sebutan Maulidan atau Muludan.
Di daerah-daerah yang tradisi Islamnya kental, pengajian Maulid dilakukan di luar bulan Maulid. Bahkan, di Pada Pariaman-Sumatara Barat, Maulid Nabi dilakukan selama tiga bulan, dengan makanan khasnya Malemang, yaitu Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Pengajian yang diselenggarakan di masjid, surau, berisi ceramah keagamaan, sholawat Nabi, dan lain-lain.
Tidak seperti beberapa tahun lampau, hari ini peringatan Maulid Nabi diadakan secara terbuka, makin semarak, di tempat-tempat modern, di kampus, sekolah, kantor dan tempat-tempat umum lainnya, juga televisi-televisi. Penyelenggara Maulidan mulai dilakukan oleh pemuda, komunitas pekerja, ibu-ibu, organisasi masyarakat, hingga institusi negara.
Hari ini, tampaknya orang melupakan pertanyaan, ”Apa hukum Maulid?”, “Mana dalil Maulid Nabi?”
Mereka sudah berasyik-masuk dengan acara Maulid yang penuh kegembiraan, penuh ekspresi, dari mualai merayakan dengan seni sastra, suara, musik, hingga makanan-makanan yang khas, yang tidak ada kecuali pada perayaan Maulid Nabi.
Memang masih ada saja orang yang usil dengan agenda Maulid Nabi, tapi di Indonesia jumlah kelompok yang mengharamkan acara tersebut amat kecil. Tapi juga seringkali suka cari perhatian dengan melakukan aksi-aksi over acting, teriak-teriak di radio, menyebarkan fitnah lewat lembaran-lembaran kecil, bahkan mendatangi rumah-rumah. Sampai di sini saya teringat dengan almaghfurlah Ki Fuad Hasyim Buntet, ketika menjelaskan perbedaan antara Maulid dan Haul.
“Kenapa bukan maulidan yang diperingati?” tanya Ki Fuad kepada jamaah Haul Mbah Ali Maksum Krapyak, beberapa tahun lampau. Lalu ia menjawab pertanyaannya sendiri dengan fasih dan lancar.
“Inilah perbedaan antara kita sebagai manusia biasa dengan Nabi Muhammad sebagai Rasul Tuhan. Peringatan maulid hanya layak kita rayakan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW, karena kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira juga peringatan. Kehadirannya dipastikan akan memberi jalan untuk mendapatkan hidayah Tuhan, mengejawantahkan akhlak mulia dan mengembangkan peradaban dunia, mewujudkan kemaslahatan bagi semua, serta bergerak untuk keadilan sosial di muka bumi ini. Semuanya pasti akan dilakukan oleh Muhammad sebagai sang rasul. Sedangkan kita, manusia biasa, tidak. Peringatan ulang tahun Muhammad diselenggarakan untuk mengingatkan akan fungsi kenabiannya yang juga diwariskan kepada para pengikutnya.”
“Bagaimana dengan pesta ulang tahun yang sudah membudaya di masyarakat kita?” Kang Fuad bertanya lagi. Lalu ia menjawab sendiri dengan singkat tapi gamblang, “Peringatan ulang tahun atau biasa disingkat dengan ultah atau harlah sebetulnya bukan tradisi kita. Namun, kita tidak bisa menghentikan kebiasaan (‘adah) yang sudah melekat kuat di masyarakat dengan serta-merta dan semena-mena.”
“Kita, sebagai umat Islam yang toleran dan kreatif musti bisa ‘memasuki’ perayaan ultah supaya tidak melanggar aturan agama. Lebih dari itu, kita wajib menggunakan sarana ultah biar muncul manfaatnya. Biar berisi. Tidak hanya tiup lilin dan makan-makan saja.”
Pertanyaan penting dilontarkan lagi sesaat kemudian, “Bagaimana sikap kita kepada orang yang menghukumi bid’ah, baik acara haulan ataupun maulidan?” kata mereka bid’ah itu sesuatu yang tidak diajarkan agama atau Nabi Muhammad. Semua bid’ah itu sesat. Dan tiap kesesatan adalah dosa.”
Pertanyaan teologis itu hanya dijelaskan saja oleh Kang Fuad, “Kita tidak usah menghiraukan pendapat orang yang belum mengerti itu. Selagi tidak mengganggu, tidak apa-apa, biarkan saja. Tidak perlu dihardik. Pada suatu saat nanti mereka akan mengerti, dan melihat ada manfaat pada ibadah haulan dan maulidan itu. Dan mereka akan mengikutinya.”
Maulid Nabi bertujuan untuk mengagungkan, mengingat perjuangan serta meneladani Nabi Muhammad. Tradisi Maulid ini juga merupakan salah satu bentuk dakwah Islam Nusantara. Di dalam acara Maulid Nabi juga disyiarkan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial, sebagai salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Melihat begitu semarak dan semangat perayaan Maulid yang juga dilakukan dengan tulus, sepertinya, Maulid Nabi tak akan pernah berhenti. (Hamzah Sahal)