Jakarta, NU Online
Saat ini secara bergelombang, para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia, khususnya dari Indonesia sudah mulai diterbangkan ke Tanah Suci Arab Saudi. Mereka akan bergabung bersama-sama menjalankan ibadah rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Puncaknya nanti dilaksanakan di beberapa lokasi seperti Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, dan juga Masjidil Haram.
Puncak ibadah haji ini akan berbarengan dengan rangkaian Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada bulan Dzulhijjah. Padahal, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197 disebutkan musim haji ada di 3 bulan, yaitu Muharram, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Lalu mengapa pada praktiknya hanya dilaksanakan di bulan Dzulhijjah?
Dalam artikel NU Online berjudul Jika Musim Haji Ada 3 Bulan, Mengapa Hanya Dilaksanakan saat Dzulhijjah? disebutkan bahwa menurut Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, maksud dari ayat tersebut adalah waktu pelaksanaan ihram, bukan semua rangkaiaan haji. Sebab, waktu pelaksanaan haji tidak butuh berbulan-bulan, tetapi cukup beberapa hari.
“Jika ada jamaah haji melakukan ihram mendahului atau terlambat dari batas waktu yang telah ditentukan maka hajinya tidak sah, dan berubah statusnya menjadi ibadah umrah,” jelas penulis artikel tersebut, Ustadz Muhammad Abror yang merupakan alumni Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta dikutip NU Online, Sabtu (10/6/2023).
Adapun waktu pelaksanaan rukun-rukun haji lainnya yang berupa wukuf di ‘Arafah, tawaf, sa’i, mencukur rambut, semuanya sudah ditentukan sebagaimana yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhamad saw saat peristiwa Haji Wada’.
“Regulasi ini sifatnya tauqifi (tidak bisa ditawar),” tegasnya sembari mengutip hadits riwayat Imam Muslim yang Nabi memerintahkan untuk melakukan haji dengan tata cara yang telah dicontohkannya.
Secara rinci, Ustadz Abror merinci waktu-waktu pelaksanaan setiap rukun haji: yakni pertama, Ihram yang dilakukan sejak masuk bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhjjah. Kedua, wukuf di ‘Arafah sejak matahari tergelincir pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar di tanggal 10 Dzulhijjah.
“Pelaksanaan wukuf ini merupakan rukun haji yang paling pokok karena waktunya yang terbatas, berbeda dengan rukun-rukun lainnya. Sehingga, jamaah yang tertinggal melakukan rukun ini hajinya tidak sah, dan harus mengulang tahun depan,” terangnya.
Ketiga, sejak tengah malam 10 Dzulhijjah dan tidak ada batas akhir waktunya. Yang lebih utama jamaah haji menyegerakan tawaf pada Hari Raya Kurban sebelum tergelincirnya matahari, kemudian kembali ke Mina dan shalat Dzuhur di sana.
Keempat, sa’i setelah melakukan tawaf yang sah (qudum atau ifadhah) dan tidak memiliki batas waktu. Dan kelima, Tahallul, mencukur atau memotong rambut mulai dari tengah malam Hari Raya Kurban, dan tidak memiliki batas waktu.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori