Nasional

Mengapa Penyebaran Radikalisme di Media Sosial Kian Masif? Begini Penjelasannya

Kamis, 12 Desember 2024 | 14:15 WIB

Mengapa Penyebaran Radikalisme di Media Sosial Kian Masif? Begini Penjelasannya

Diskusi bertajuk Merayakan Toleransi di Rimba Digital di Outlier Cafe & Studio, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Rabu (11/12/2024) sore. (Foto: NU Online/Risky)

Tangerang Selatan, NU Online

Penulis Buku Radikalisme di Media Sosial Mohamad Badruzzaman mengungkapkan, terdapat dua corak dalam penyebaran paham radikalisme dan terorisme atas nama agama.


Pertama, dengan cara bertemu langsung dalam waktu relatif lama, minimal 3 setengah tahun. Ini terjadi pada 2000-2010.


Kedua, sejak 2010 hingga kini, penyebaran paham radikalisme dan terorisme atas nama agama dilakukan tanpa bertatap muka dengan waktu lebih singkat, hanya 1,5 bulan.

 
Menurut Zaman, perbedaan kedua cara penyebaran paham radikalisme dan terorisme atas nama agama itu terletak pada intensitas penggunaan media sosial.


"Ini menjelaskan bahwa media sosial menjadi alat untuk mempercepat orang menjadi teror," ungkap Kang Zaman, sapaan akrabnya, dalam Diskusi di Outlier Cafe & Studio, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Rabu (11/12/2024) sore.


Kang Zaman menilai bahwa hingga sekarang penyebaran paham radikalisme dan terorisme kian masif. Hal ini dilandasi oleh semangat militansi tinggi yang berakar pada indoktrinasi agama dan paham kepatuhan penuh terhadap pemimpin yang disebut sebagai qiyadah.


"Kekuatan dan militansi mereka terletak pada qiyadah, ketaatan kepada pemimpin. Boleh mengabaikan apa pun, yang tidak boleh adalah mengabaikan perintah dari pimpinan," jelasnya.


Sementara itu, pendakwah digital Habib Husein Ja'far mengatakan bahwa penyebaran radikalisme di dunia maya lantaran adanya penyediaan ruang untuk menilai dan berprasangka terhadap berbagai hal dan tiap orang. Menurutnya, media sosial membuka ruang bagi siapa saja untuk berpendapat dan berkomentar.


"Media sosial itu menghadirkan ilusi atau dugaan-dugaan tentang berbagai hal dan berbagai orang. Anda bisa dibuat benci kepada seseorang padahal anda belum pernah silaturahmi sekalipun dengan orang itu. Itu bahaya penetrasi media sosial terhadap sesuatu," ungkapnya.


Selain itu, sambung Habib Husein Ja'far, alasan kedua yang turut menyuburkan radikalisme di dunia maya adalah penyediaan ruang dengung (echo chamber) di media sosial. Ruang dengung ini menjebak tiap pengguna media sosial ke dalam satu sudut pandang saja.


"Kenapa? Karena grup itu akan menjadi ruang dengung atau echo chamber, sehingga anda hanya akan mendengar sesuatu yang ingin anda dengar bukan apa yang perlu anda dengar," ujarnya.


Sejalan, Founder Islamidotco Mohamad Syafi' Alielha (Savic Ali) mengungkapkan bahwa untuk menangkal paham semacam itu, seseorang perlu membiasakan diri untuk mengonsumsi gagasan yang beragam, bahkan bertolak belakang.


Sebab menururtnya, hal itu dapat mengundang dialektika yang pada taraf selanjutnya dapat menjaga kebinekaan bangsa Indonesia.


"Kita mendengarkan orang yang berpendapat yang mungkin bertentangan dengan ke-NU-an saya. Kita perlu membiasakan itu," jelas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Acara bertajuk Merayakan Toleransi di Rimba Digital didukung oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (Kemenag) RI. Sebelum sesi diskusi, acara dimulai dengan penampilan Band Single Amboro untuk menghibur hadirin.