Jakarta, NU Online
Beberapa waktu yang lalu tersiar berita mengenai pertanyaan KH Syukron Makmun tentang tanah wakaf yang dikenai pajak kepada Presiden. Dalam keterangan pers di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (4/4/2017), ia menyatakan bahwa tanah wakaf yang dikelolanya dikenai pajak.
"Saya sendiri ditagih pajak, yang jumlahnya nanti istighfar mendengarnya," kata Syukron Makmun.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Pasal 3 Ayat 1, tanah yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan.
Menurut Anggota Badan Wakaf Indonesia Soraya Devi, tanah wakaf yang dikenai pajak bisa jadi karena tanah itu belum memiliki sertifikat wakaf.
"Yang sekarang banyak terjadi adalah tagihan pajak timbul karena banyaknya tanah wakaf yang belum bersertipikat hak milik wakaf," jelas Devi, Selasa (5/4/2017) malam.
Ia mencontohkan tanah wakaf yang masih bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (HGB), hak guna usah (HGU), girik, dan verponding.
Untuk bisa mendapatkan sertifikat wakaf, menurut Devi, persyaratan berupa warkat atau surat-surat tanah harus lengkap. Namun, "Kelengkapan warkat inilah kendala utama," ujar Devi.
Untuk itu, Devi berharap Badan Pertanahan Nasional bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih memudahkan nazhir untuk mendapatkan sertifikat wakaf.
"Terutama sertifikat wakaf untuk tanah yang di atasnya ada masjid," kata Devi.
Mengenai tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan usaha wakaf produktif, Devi menyatakan bahwa hanya kegiatan usahanya yang dikenai pajak. Adapun tanahnya tidak dikenai pajak jika sudah bersertifikat wakaf. Red: Mukafi Niam