Moderatisme Memahami Al-Qur’an dalam Kitab Ithaf Al-Dzaki
Jumat, 6 Desember 2019 | 16:59 WIB
Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tentu memiliki kandungan yang sangatlah luas dan mendalam. Artinya, ada beragam pandangan dan pemahaman pada setiap ayatnya. Hal itulah yang ditekankan oleh Syekh Ibrahim al-Kurani dalam kitabnya Ithaf al-Dzaki, tidak sekadar memahami dari terjemah saja.
“Terjemah itu lahir saja, tetapi dalam memaknai Al-Qur’an itu ada makna lahir dan batin,” jelas Oman Fathurahman, guru besar filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saat Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (6/12) malam.
Lebih dari itu, Oman juga menjelaskan Syekh Ibrahim dalam karyanya tersebut menulis bahwa makna Al-Qur’an memiliki batasannya, tetapi juga ada keleluasaan di dalamnya. “Di satu sisi dibatasi, pada sisi lain ada keleluasaan juga,” katanya.
Artinya, ia menggarisbawahi agar tetap haus akan makna setiap ayatnya, tidak terpaku pada satu pemahaman belaka sehingga pengetahuannya semakin meluas. “Pesan utamanya janganlah merasa baru belajar Al-Qur’an sebentar, baru membaca terjemah saja cukup. Jangan! Mari, kita lanjutkan membaca tafsirnya,” ajaknya.
Akademisi alumnus Pesantren Cipasung, Tasikmalaya itu mengajak para penyimak untuk membaca karya-karya tafsir Nusantara, seperti karya Syekh Abdur Rauf Singkel, yakni Tarjuman al-Mustafid.
Syekh Ibrahim memberi penjelasan lebih lanjut dengan mengutip pernyataan Sayidina Ali kepada Ibnu Abbas ketika mengutusnya untuk menemui Khawarij. Ia meminta Abdullah bin Abbas itu berdebat dengan mereka tanpa berhujah dengan Al-Qur’an. Hal itu mengingat pandangan mengenai Al-Qur’an sangat beragam sehingga ia meminta agar berhujah dengan menggunakan sunnah.
“Al-Qur’an itu punya banyak sisi, tidak akan ada ujungnya, saking luasnya Al-Qur’an,” jelas Oman mengutip pernyataan Ibnu Abbas.
Bahkan, saking luas dan mendalamnya Al-Qur’an, Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan mampu menempatkan penjelasan surat Al-Fatihah pada 70 unta. “Kalau saya mau meletakkan di Surat Al-Fatihah di 70 unta itu bisa,” katanya sebagaimana dikutip oleh Syekh Ibrahim dalam kitab Syarah atas al-Tuhfah al-Mursalah karya Syekh Burhanpuri itu.
Oleh karena itu, Oman mengajak agar terus senantiasa belajar mengingat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas, Al-Qur’an tidak memiliki ujung maknanya.
Contoh makna lahir dan batin
Dalam memaknai ayat fakhla’ na’laika, bukan sekadar mencopot sandal belaka secara lahir. Ada makna lain di balik itu. Syekh Ibrahim menyatakan bahwa meyakini ada makna lain, yakni makna batinnya, bukan berarti menegasikan makna lahirnya. ‘Yang bisa menggabungkan keduanya (pendapat) orang yang sempurna,” katanya.
Sebab, orang yang mampu melakukan hal tersebut tidak lain karena memahami pirantinya, berbagai keilmuan yang mendukung pemahaman tersebut. Syekh Ibrahim ini, jelas Oman, merupakan orang yang ahli hadis dan juga tasawuf.
“Menghimpun kedua pendapat itu lebih diunggulkan ketimbang mengunggulkan salah satu pendapat,” jelasnya.
Di samping itu, pemahaman terhadap suatu hadis yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing juga tidak hanya makna lahir belaka. Ada juga yang memaknainya secara batin. Orang yang terakhir ini memaknai anjing bukan secara lahir binatang anjing, melainkan sifat marah.
“Mengosongkan rumah hati dari sifat marahnya anjing. Karena sesungguhnya marah itu mencegah makrifat yang berasal dari cahaya malaikat,” terangnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muchlishon