Munas NU 2023: Hubungan Ulama dan Umara Bersifat Saling Melengkapi
Selasa, 19 September 2023 | 15:30 WIB
Ketua Panitia Pengarah Munas-Konbes NU 2023 KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) saat mewakili Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah dalam Konferensi Pers di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (19/9/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 mempertegas posisi dan relasi antara ulama dengan umara, begitupun sebaliknya, yang bersifat saling mengisi atau melengkapi.
Tema soal relasi ulama-umara ini diangkat di Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah Munas NU 2023. Salah satu pembahasan yang mengemuka adalah soal bagaimana jika ada ulama yang secara total terjun ke politik praktis, sehingga sudah tak bisa dibedakan apakah dia seorang politisi atau agamawan.
Forum Komisi Bahtsul Maudlu'iyah yang dipimpin oleh KH Abdul Moqsith Ghazali bersepakat, apabila ada ulama yang terjun ke politik praktis lalu menjadi pemimpin daerah atau bahkan nasional, maka tugas dan kewajibannya bukan lagi sebagai ulama tetapi bertugas dan berkewajiban sebagai umara.
Ketua Panitia Pengarah Munas-Konbes NU 2023 KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengatakan, sebagian masyarakat hingga kini masih menganggap bahwa apabila ada ulama yang dekat dengan umara maka akan dicap sebagai ulama su' (tidak baik).
"Komisi ini menyampaikan hubungan ulama-umara yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Kewajiban ulama mendampingi penguasa dan kewajiban penguasa selalu berkonsultasi kepada para ulama. Ini pedoman untuk memasuki tahun 2024," jelas Gus Ghofur mewakili Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah dalam Konferensi Pers di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Sikap umara pada ulama
Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah merumuskan dan memutuskan bahwa terdapat tiga macam soal sikap umara pada ulama.
Pertama, senantiasa bermusyawarah dengan para ulama untuk merealisasikan keadilan. Imam al-Ghazali menganjurkan para pemangku kebijakan untuk sering bermusyawarah dan mendengarkan nasihat para ulama untuk merealisasikan keadilan dan menjaga amanah kekuasaan yang telah dititipkan kepadanya.
Kedua, meminta fatwa dan pandangan para ulama, baik terkait masalah agama maupun masalah kebangsaan, apalagi Indonesia berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa. Fatwa dan arahan ulama diperlukan dalam rangka mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi pemimpin.
Ketiga, merindukan bertemu dengan ulama Menurut Imam al-Ghazali, ada sepuluh pilar yang perlu para pemimpin ketahui dan jalankan agar bisa merealisasikan keadilan dan menjaga objektivits. Salah satunya, para pemimpin hendaknya merindukan perjumpaan dengan para ulama serta mendengarkan pandangan-pandangan dan nasihat-nasihat objektifnya.
Sikap ulama pada umara
Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah juga telah merumuskan beberapa sikap ulama kepada umara.
Pertama, hendaknya para ulama senantiasa memberikan nasihat kepada para penguasa dengan cara lembut. Memberi nasihat kepada umara bukan hanya sekadar menyampaikan mau’idzah hasanah (nasihat kebaikan), tetapi memberi nasihat berarti memberikan sesuatu yang memang diperlukan oleh para pemimpin untuk menjaga amanah kekuasaan yang berada pada pundak mereka.
Kedua, hendaknya para ulama selalu menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai agama untuk dijadikan bekal dan pedoman para pemimpin dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang berorientasi pada kemaslahatan.
Ketiga, menjaga muru'ah atau marwah. Sikap yang harus dijaga oleh para ulama saat menghadapi penguasa adalah menjaga muru’ah. Menjaga muru’ah bermakna sama dengan menjaga integritas keulamaan. Dalam hal ini orientasi ulama saat menjalin relasi dengan umara sangat menentukan integritasnya.
Jika orientasinya mencari dunia, maka ulama tersebut telah mengorbankan integritasnya. Namun bila orientasinya adalah kemaslahatan umum maka hal itu merupakan tugas yang mulia.
Bentuk relasi ulama dengan umara
Saat para ulama tengah menjalin relasi dengan umara, maka bentuk relasinya bisa berbeda-beda sesuai keadaan dan kemaslahatan yang tengah dihaapi. Berikut ini beberpa bentuk relasi ulama-umara dalam khazanah keilmuan islam:
Pertama, al-mu’awanah alal 'adli was-shalah atau saling tolong-menolong dalam merealisasikan keadilan dan kebaikan. Relasi ini biasanya terjalin saat keadaan sosial-politik cukup kondusif. Dalam keadaan ini tidak jarang para ulama menjalin kerja sama dengan umara untuk tujuan kebaikan dan keadilan.
Kedua, al-muwazanah bainal mashalih wal mafasid yaitu ulama memerankan fungsi sebagai penasihat keputusan pemimpin saat dihadapkan pada beberapa pilihan kebijakan. Para ulama akan melakukan muwazanah atau menimbang pilihan-pilihan tersebut, antara maslahat dengan mafsadat, atau mana yang paling banyak maslahat dan paling sedikit mafsadatnya
Ketiga, al-‘alaqah al-jadaliyyah fi ta’yid al-akhir wa taqwil al-i’wijaj yaitu hubungan dialektis antara ulama dan umara. Jika kebijakan dan regulasi yang ada berorientasi pada kemaslahtan dan kebaikan maka para ulama akan mendukungnya.
Namun jika kebijakan umara dianggap melenceng atau bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan, maka para ulama akan mengkritisi dan memberikan masukan-masukan yang proporsional.
Keempat, al-musa’adah ala imarah al-bilad wa al-kaun yaitu membantu pemerintah dalam memelihara dan memakmurkan negara dan alam semesta. Hal ini karena semua manusia memiliki tugas isti’mar al-ardh yaitu menjaga dan memakmurkan bumi.
Kelima, al-muhafadzah ‘ala at-ta’yusy as-silmi yaitu bekerja sama dalam menjaga kehidupan atau saling berdampingan yang penuh kedamaian. Hal ini berlandaskan bahwa asas hubungan antarsesama adalah kedamaian.