Jombang, NU Online
Akmal (17) terlihat sangat konsentrasi dengan kitab yang dipegangnya. Kitab "Shohih Muslim" yang akan dibawakan oleh Kiai Habib Ahmad di serabi masjid Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Ahad (22/7).<>
Satu per satu, tulisan berupa huruf pegon itu diamatinya. Sesekali, ia mengingat-ingat arti dari huruf pegon itu. Dirangkainya satu per satu huruf itu, hingga menjadi kalimat. Iapun, sedikit demi sedikit, memahami arti kalimat di "kitab kuning" karangan Imam Muhyidin An Nawawi tersebut. Dengan lincah, pena ia goreskan di atas kertas kuning itu, merangkai makna kalimat yang ditulis dalam huruf hijaiah.
Hari-hari Akmal dihabiskan dengan mengaji kitab kuning. Selama Ramadhan, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dipenuhi dengan kegiatan mengaji kitab. Kegiatan mulai pagi setelah Shalat Subuh sampai menjelang berbuka puasa.
"Ini pengajian terbuka, bisa diikuti santri maupun masyarakat umum. Kalau saya, memang santri di sini (PP Tebuireng)," ucapnya, mengungkapkan.
Mengaji kitab memang dijadikan sebagai salah satu kegiatan rutin di pondok. Kegiatan ini lebih intensif terutama saat bulan Ramadhan.
Jika sebagian masyarakat umum menghabiskan waktu menanti berbuka dengan kegiatan jalan-jalan, menonton televisi, di pondok para santri menghabiskan waktu dengan mengaji kitab.
Kitab "Shohih Muslim" yang dibawakan oleh Kiai Habib Ahmad adalah salah satu kitab dari sekian banyak kitab yang khusus dibahas saat Ramadhan. Waktunya adalah saat menjelang dan sesudah Shalat Ashar. Para santri konsentrasi mendengarkan Kiai Habib menerjemahkan isi kitab tersebut.
Pengajian itu selain menjadi mediasi untuk mempelajari ilmu hadist, sekaligus ngabuburit, menunggu waktu berbuka. Tentunya, kegiatan ini sangat bermanfaat, dan bisa menambah pengetahuan.
"Kami bisa belajar tentang isi kitab itu. Kalau kami, ngabuburitnya ya mengaji kitab," kata remaja asal Sumatera ini.
Bukan hanya Akmal yang mengikuti pengajian itu. Sebanyak 1.500 santri putra dari pondok ini juga konsentrasi mendengarkan pengajian dari kiai yang juga alumni PP Tebuireng tersebut. Beberapa di antaranya adalah santri luar yang sengaja datang, guna menimba ilmu. Mereka khusus mengaji saat Ramadhan, dan biasanya pulang setelah kegiatan mengaji selesai.
Muh Subkhi, salah seorang pengurus di pondok itu mengatakan kegiatan pengajian sudah dimulai "H-1" Ramadhan. Ada banyak kitab yang dibahas selama Ramadhan, di antaranya "Riyadhus Shalihin" (Taman Orang-orang Shalih) karya Imam Nawawi, "Jawahirul Bukhori", "Bulughul Marom" (kitab berisi hadits-hadits tentang fiqh) karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqolani, tafsir Surat Yasin, dan sejumlah kitab lainnya. Ada sekitar 28 kitab baik untuk umum maupun para santri yang disesuaikan dengan pendidikannya, yaitu SMP, SMA, sampai mahasiswa.
"Targetan kami, semua kitab bisa khatam pada 17 Agustus nanti. Itu rencana penutupan pondok sebelum memasuki libur Idul Fitri," ucapnya.
Ia juga mengatakan, setiap peraturan pondok akan dijalankan dengan tegas. Sudah ada jadwal tentang pembelajaran masing-masing, termasuk lokasi yang digunakan sebagai tempat untuk mengaji. Jika ketahuan ada santri yang tidak ikut, pengurus pondok akan memprosesnya.
Tebuireng, KH Hasyim Asyari dan Gus Dur
Pondok Pesantren Tebuireng, adalah salah satu pondok yang terkenal di Indonesia. Pondok ini didirikan oleh KH Hasyim Asyari. Beliau adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya merupakan seorang kiai bernama Kiai Asyari, pemimpin sebuah pondok pesantren di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri.
KH Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang sangat nasionalis. Beliau rela menyumbangkan tenaga, pikiran, demi mengembangkan bangsa ini. Dengan landasan logika yang dijadikan pijakan KH Hasyim, mendorong masyarakat untuk memanfaatkan bantuan Jepang. Dengan didikan dan gemblengan militer dari Jepang, masyarakat yang sudah beratus-ratus tahun dijajah Belanda, lambat laun bangkit.
Demikian juga di bidang pendidikan. Dengan metode pengajaran, KH Hasyim mempunyai gagasan, memasukkan materi ilmu umum sampai metode seminari, dengan harapan bisa imbang antara ilmu umum dan agama. Hasilnya, para santri menjadi lebih kritis pada wacana ilmu pengetahuan. "Bahts al-Masail" sebagai metode "Istimbat al-Hukm" dalam tradisi Nahdlatul Ulama, sejatinya adalah buah manis dari metode pengajaran yang dipopulerkan KH Hasyim.
KH Hasyim juga berperan dalam tercetusnya ideologi negara, di mana saat terjadi perbedaan pandangan pada pada sidang BPUPKI 28 Mei-1 Juni 1945. Kubu Soekarno dan Soepomo saat itu menghendaki negara ini bercorak nasionalis sekuler, sementara kubu Muhammad Yamin menginginkan Islam sebagai landasan dasar negara Indonesia.
Kedua kubu ini masih terus saling menguatkan pandangan masing-masing, sehingga nasib Indonesia di ambang kesuraman, apakah kelak dijadikan sebagai negara sekuler atau negara Islam. Pertentangan tersebut baru reda setelah hadirnya Abdul Wahid Hasyim, putra KH Hasyim. Melalui gagasan yang disampaikan Abdul Wahid Hasyim, akhirnya disepakati Piagam Jakarta untuk merumuskan ideologi negara Indonesia. Piagam ini berlatar belakang Piagam Madinah saat zaman Rasulullah.
Perjuangan KH Hasyim tidak kenal usia. Walaupun usianya sudah tidak lagi muda, semangatnya untuk membela bangsa tidak pernah surut. KH Hasyim atas nama hati nurani rakyat bahkan sampai mengeluarkan fatwa "jihad fi sabilillah" untuk melawan tentara sekutu yang berniat kembali menguasai Indonesia.
Saat itu, pemerintah menyepakati Perundingan Linggarjati yang dinilai mewakili seluruh suara rakyat. Hasil dari Perundingan Linggarjati, salah satu kesepakatannya adalah membentuk Negara Republik Indoneisa Serikat (RIS).
KH Hasyim, Bung Tomo, Jenderal Soedirman, Kiai Wahab Hasbullah, dan tokoh-tokoh lainnya mengadakan kesepakatan tandingan di Tebuireng. Bagi kubu KH Hasyim, kemerdekaan adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Negara RIS dianggap sama halnya dengan menggadaikan kembali kemerdekaan. Namun, beliau terburu "berpulang", sehingga perjuangannya diteruskan generasi penerusnya.
Sosok KH Abdurrahman Wahid, pun tak kalah populer. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 ini merupakan seorang reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Semasa hidupnya, putra pasangan Wahid Hasyim dan Solichah ini bahkan pernah menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.
Berbagai prestasi dan penghargaan ia peroleh, di antaranya Pada 1993, penghargaan berupa "Ramon Magsaysay Award", sebuah penghargaan prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial.
Ia juga ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga memberikan penghargaan pada 11 Agustus 2006, dengan Gadis Arivia yaitu Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia, serta sejumlah penghargaan lainnya.
Gus Dur wafat pada Rabu (30/12/2009), di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit, di antaranya jantung dan gangguan ginjal yang sudah dideritanya sejak lama.
Gus Dur dimakamkan satu lokasi dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama yang juga ayahanda Gus Dur), kakeknya, KH Hasyim Asyari, serta sejumlah keluarga lainnya di makam kelurga, PP Tebuireng, Kabupaten Jombang. Lokasi ini selalu ramai dipadati pengunjung setiap harinya.
Tak kurang dari 2.000 pengunjung datang untuk berziarah. Jumlah ini biasanya meningkat saat akhir pekan sampai 5.000-8000 pengunjung. Mereka datang dari berbagai daerah bukan hanya Jawa, Madura, melainkan daerah di Indonesia.
Namun, saat Ramadhan seperti sekarang ini, justru jumlah peziarah turun. Dari yang biasanya pengunjung banyak dari sejumlah daerah di Indonesia, saat ini pengunjung justru banyak dari lokal seperti Jombang, Mojokerto. Jumlah pengunjung hanya sekitar 500 saja setiap harinya.
Walaupun jumlah pengunjung sedikit, lokasi makam dibiarkan tetap terbuka sampai 24 jam, kecuali terdapat kegiatan resmi. Ada kegiatan itupun ditutup untuk pintu depan makam, dan para peziarah tetap bisa berkunjung dengan lewat pintu belakang pondok.
Berkah Bagi Pedagang
Bulan Ramadhan, merupakan berkah bagi para pedagang. Mereka bisa berjualan di dalam lokasi pondok menyediakan berbagai macam takjil sebagai menu berbuka puasa. Maklum, santri memang diberikan pilihan untuk makan ikut pondok atau memasak sendiri.
Muh Subkhi, salah seorang pengurus di pondok tersebut mengatakan "pasar kaget" itu memang sengaja mendatangkan para pedagang dari luar pondok. Terdapat aturan yang melarang para santri pergi ke luar pondok, sehingga lebih memilih mendatangkan para pedagang.
"Mereka bisa berjualan di dalam lokasi pondok. Menyediakan berbagai macam makanan dan minuman sebagai menu berbuka puasa," paparnya.
Jumlah pedagang, kata dia sudah didata sebelumnya. Terdapat sekitar 23 pedagang yang rata-rata berasal dari sekitar pondok. Menu makanan pun diserahkan pada para penjual.
Para santri terlihat "menyemut" memadati lokasi bazar usai mengaji Kitab "Shohih Muslim" yang akan dibawakan oleh Kiai Habib Ahmad di serambi masjid pondok. Mereka saling berebut menu buka puasa.
Alhasil, para pedagang terlihat juga kelimpungan meladeni ribuan santri yang berebut menu buka puasa itu. Ada yang membeli es, lauk, serta jajanan. Harga jualnya nisbi terjangkau sekitar Rp1.000-Rp3.000, tergantung yang dibeli.
Dewi, salah seorang penjual di pondok itu mengaku cukup beruntung diberikan kesempatan untuk bisa berjualan di dalam pondok. Tahun lalu, ia juga berjualan dan mendapatkan untung yang cukup besar.
"Kalau sehari, bisa sampai Rp500 ribu saya dapat. Untuk pondok nanti juga ada sebagian dari rejeki saya," ucapnya.
Nina, penjual lainnya mengaku juga senang bisa berjualan di dalam pondok.Jualannya juga sederhana, ada es buah, kue basah, kue yang digoreng. Ia mencari rejeki dan berharap berkah. Pun, ia juga merasa tenang, karena bisa berjualan di dalam pondok. Ia pun bisa ziarah ke makam pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) KH KH Hasyim Asyari.
"Saya bisa tarawih di dalam pondok, bahkan bisa ziarah sewaktu-waktu. Yang penting, mencari rejeki yang halal dan berharap berkah," ujarnya.
Hal berbalik justru terjadi pada para penjual di luar pondok. Biasanya, para penjual ramai dipadati pembeli. Namun, karena kunjungan peziarah yang lebih sedikit ketimbang hari biasa, para pedagang di luar pondok terlihat lebih santai.
Wito, salah seorang pedagang kaki lima mengatakan untuk Ramadhan seperti ini, biasanya ia tidak terlalu lama berjualan. Di hari normal, ia bisa menggelar dagangannya sampai 24 jam, tapi karena Ramadhan paling hanya sore.
Walaupun jumlah pembeli berkurang, pria yang berjualan kue yang digoreng, mi instan, dan minuman ini mengatakan rejeki setiap orang sudah ada yang mengatur. Ia pun tidak khawatir dan yakin akan mendapatkan rejeki dari jualannya.
Koordinator para pedagang, Sutris mengatakan kegiatan para pedagang selama Ramadhan memang berkurang, karena turunnya jumlah peziarah. Para pedagang yang sebagian besar dari luar kota itu juga sudah pulang ke kotanya masing-masing.
"Nanti mereka kembali lagi setelah Idul Fitri, karena peziarah biasanya juga mulai berdatangan," katanya.
Penataan para pedagang, menurut dia, tidak terlalu sulit. Mereka dengan sadar diri saling menghormati dan bersedia untuk memberikan sumbangan guna pembangunan lokasi jualan.
Untuk saat ini, memang lokasi jualan dibuat semi permanen. Belum ada lokasi yang tertata dengan bagus. Ia berharap, rencana pemerintah untuk membangun sentra untuk para pedagang memang bisa direalisasikan, sehingga para pedagang pun bisa berjualan dengan nyaman.
Jumlah penjual di pasar itu juga cukup tinggi, sekitar 100 penjual. Mereka berjualan berbagai macam souvenir maupun makanan. Banyak penjual datang dari luar daerah, seperti Surabaya, Mojokerto, dan sejumlah daerah lainnya.
Pemerintah pusat memang memutuskan untuk membangun makam. Namun, keluarga tidak berkenan jika makam dirombak dan minta dibiarkan apa adanya. Dengan itu, akhirnya hanya dilakukan sejumlah fasilitas makam di PP Tebuireng, Jombang tersebut. Latar belakang keputusan itu di antaranya semakin banyaknya warga yang ziarah, sehingga memang diperlukan perbaikan fasilitas penunjang.
Makam Gus Dur sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan makam lainnya yang ada di lokasi makam kompleks pondok tersebut. Semua kijing di makam itu tidak dilengkapi dengan nama penghuninya.
Namun, makam Gus Dur bisa diketahui dengan banyaknya taburan bunga di atas gundukan tanah itu. Di dekat nisan, juga terdapat sebuah vas bunga kecil terbuat dari marmer bertuliskan nama KH Abdurrahman Wahid dan KH Hasyim Asya'ri, yang sengaja ditulis oleh sebuah komunitas.
Pemerintah kini sudah mulai membangun sejumlah fasilitas di lokasi makam itu demi kenyamanan para peziarah. Awal Juni 2012, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono telah meresmikan fasilitas bangunan. Saat ini, yang sudah jadi adalah lokasi berdoa para peziarah. Ada juga jalur yang diperuntukkan bagi para peziarah. Lokas itu juga sudah dilengkapi dengan kamera pengintai atau CCTV demi kenyamanan para peziarah.
Total anggaran yang diperlukan sekitar Rp180 miliar. Rencananya, 40 persen dari anggaran pembangunan itu dibantu pemerintah, sementara sisanya bantuan dari masyarakat maupun para dermawan.
Pengasuh PP Tebuireng, KH Salahuddin Wahid menyambut baik rencana pembangunan fasilitas di lokasi makam itu. Ia mengatakan, para peziarah bisa memanfaatkan lokasi bangunan. Jika di lantai satu penuh, maka mereka bisa ke lantai dua untuk berdoa dan menggelar tahlil.
Redaktur: Mukafi Niam
Sumber : Antara