Nasional

Ombudsman: Penyelesaian Masalah Papua Bisa Dimulai dari Realisasi Otsus

Rabu, 5 Desember 2018 | 10:30 WIB

Jakarta, NU Online
Sejak awal Desember 2018 beberapa kejadian yang berhubungan dengan masyarakat Papua menyita perhatian media dan masyarakat tanah air. Mulai aksi demonstrasi di sejumlah tempat hingga pembantaian 31 orang di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua. 

Kendati menyadari masalah di Papua tidak berasal dari satu persoalan, namun anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy menilai salah satu penyebabnya adalah ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap kinerja Pemerintah Indonesia, khususnya tentang realisasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau dikenal dengan UU Otsus Papua.

“Tapi UU Otsus ini belum dijalankan semuanya. Ada yang sudah diterapkan dan ada juga yang belum. Saya kira itu salah satu sumber masalahnya,” kata Suaedy pada NU Online Rabu, (5/12). 

Suaedy menyebut, setidaknya ada tiga hal yang belum terealisasi dalam UU Otsus tersebut; pertama tidak adanya partai lokal sebagamana diamanatkan dalam Bab VII UU Otsus tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa masyarakat Papua memiliki hak untuk membentuk partai politik yang mengutamakan masyarakat asli Papua sebagai pengurus partai. 

Menurutnya, pemerintah Pusat bisa menginiasi lahirnya partai lokal.“Harusnya didorong adanya partai lokal oleh Pemerintah untuk masyarakat Papua,” ujar Suaedy. 

Kedua adalah minimnya upaya penyelesaian kasus Hak Azasi Manusia di Papua. Suaedy menyebutkan bahwa sejumlah kasus HAM di Papua tidak ditangani dengan sngguh-sungguh sehingga masih menyisakan masalah kemanusiaan yang panjang. 

Ketiga yang tidak kalah pentingnya menurut Suaedy adalah tidak adanya pembicaraan tentang sejarah integrasi Papua terhadap Indonesia yang dianggap ‘belum selesai’. “Masih ada kelompok masyarakat Papua yang menganggap masalah integrasi ini ‘belum tuntas’. Adanya ketidakpuasan masyakarat Papua terhadap hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang belum belum dibicarakan secara serius. Padahal pembahasan itu ada di UU Otsus,” katanya. 

Suaedy menyarankan agar Pemerintah membuka kembali pembicaraan tentang sejumlah hal tersebut, termasuk tentang Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar tahun 1969 yang dianggap sebagian orang dilakukan dengan tidak demokratis.

Walau begitu, ia mengakui bahwa sebagian dari ketetapan dalam Otsus sudah direalisasikan seperti penyaluran dana otsus. “Dana Otsus sudah direalisasikan meskipun masih banyak praktik korupsi,” katanya. Hal lain yang sudah dijalankan adalah adanya pemilihan langsung Gubernur dan Bupati di Papua seperti yang tertera dalam ketentuan Otsus. 

Jika diliat lebih jauh, dalam persoalan Papua dan kaitannya dengan Program Pemerintah Pusat, warga Papua terbagi menjadi tiga kelompok. “Ada kelompok yang tidak puas dengan Otsus, ada yang menerima dengan UU Otonomi Khusus (Otsus) tapi tetap kritis. Dan mereka yang cukup dengan Otsus,” katanya.

Saat ditanya bangaimana cara menyelasaikan masalah-masalah di Papua, termasuk upaya peningkatan sosial ekonomi, pelurusan sejarah dan penyelesaian masalah HAM, Suaedy menegaskan. “Realisasikan Otsus. Jika ada yang kurang relevan, ya direvisi nggak apa-apa saya kita,” pungkasnya. (Ahmad Rozali)


Terkait