Operasi Militer Selain Perang Berpotensi Mengancam Kebebasan Sipil
Kamis, 9 Oktober 2025 | 17:45 WIB
Sekretaris Jenderal PBHI Gina Sabrina dalam Seminar Nasional Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP) berpotensi mengancam kebebasan sipil.
Sekretaris Jenderal PBHI Gina Sabrina menyoroti lemahnya kontrol sipil terhadap militer dalam sejumlah kebijakan pertahanan dan keamanan yang semakin membuka ruang bagi militer untuk berperan di ranah sipil tanpa mekanisme pengawasan demokratis yang memadai.
Hal tersebut disampaikan Gina dalam Seminar Nasional bertajuk Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025).
Menurut Gina, perluasan peran militer di ranah sipil terjadi melalui dua instrumen utama, yakni program komponen cadangan dan OMSP.
Ia menjelaskan bahwa program komponen cadangan telah berjalan sejak 2021, di mana mahasiswa dan masyarakat sipil direkrut untuk mengikuti pelatihan bela negara dengan iming-iming honor dan konversi ke satuan kredit semester (SKS).
“Program komponen cadangan ini dibuka secara masif, bahkan bekerja sama dengan beberapa universitas seperti UPN Jakarta dan Yogyakarta. Bentuknya pelatihan militer dengan balutan kegiatan bela negara,” ujar Gina.
Gina menambahkan, keberadaan komponen cadangan yang telah dilatih dan dapat dimobilisasi sewaktu-waktu menyimpan risiko serius bagi kebebasan warga negara.
Ia menilai ketentuan yang mewajibkan peserta pelatihan untuk siap dipanggil kembali kapan saja tanpa batas waktu yang jelas dapat menjadi alat kontrol baru terhadap masyarakat sipil.
“Mereka yang sudah ikut pelatihan bisa dipanggil kapan saja dengan alasan ancaman nasional. Dan jika menolak, bisa dikenai sanksi pidana. Ini berbahaya bagi prinsip kebebasan sipil,” ujarnya.
Gina juga menyoroti keterlibatan prajurit aktif dalam berbagai kegiatan non-pertahanan, antara lain pengamanan proyek strategis nasional, pelatihan kewirausahaan, dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia menilai aktivitas tersebut tidak relevan dengan fungsi utama Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan negara.
“Kita sering melihat prajurit aktif terlibat dalam kegiatan sipil dengan alasan membantu masyarakat. Padahal, itu wilayah yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah atau lembaga sipil,” ujar Gina.
Ia mengingatkan bahwa pelibatan militer dalam urusan sipil dapat membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, kecenderungan tersebut semakin tampak ketika OMSP digunakan untuk menangani urusan keamanan dalam negeri, seperti pengamanan demonstrasi atau konflik sosial.
Gina kemudian menyerukan pentingnya penegasan kembali posisi TNI dalam kerangka pertahanan negara, bukan dalam urusan pemerintahan sipil.
“Kita butuh reformasi sektor keamanan yang sungguh-sungguh, bukan sekadar slogan. Militer harus kembali ke barak, dan kontrol sipil harus dipulihkan sepenuhnya,” pungkasnya.