Pakar Nilai Upaya DPR yang Akan Evaluasi Posisi MK Sangat Politis, Tak Baik untuk Demokrasi
Kamis, 29 Agustus 2024 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Salah satunya mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga DPR menganggap MK sudah melampaui batas kewenangannya.
Pakar Hukum Tata Negara Prof Rudy Lukman menilai upaya DPR yang akan mengevaluasi posisi MK itu sangat politis dan tidak baik untuk demokrasi.
"Rezim Pilkada ini sudah masuk ke dalam rezim Pemilu berdasarkan Putusan MK. Pilkada serentak saat ini pun adalah hasil dari undang-undang yang dibentuk DPR menindaklanjuti Putusan MK tersebut," kata Prof Rudy kepada NU Online, Kamis (29/8/2024).
Namun Prof Rudy mengungkapkan, sepanjang tidak mengevaluasi kewenangan yang diberikan konstitusi (UUD 1945), sebenarnya sah-sah saja jika DPR ingin mengevaluasi MK.
Wewenang MK
MK memiliki sejumlah wewenang sebagai lembaga yudikatif. Pertama, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Kedua, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Ketiga, MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
Keempat, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
Kelima, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Keenam, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan undang-undang.
DPR evaluasi MK
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang. Sebab MK dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
"Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dilansir Antara.
Salah satu contohnya mengenai Pilkada. Seharusnya, kata Doli, MK meninjau ulang UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.
"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan," katanya.