Para Ulama Memahami Hukum dalam Al-Qur’an dengan Ushul Fiqih
Jumat, 2 Juli 2021 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan bahwa para ulama menggunakan metodologi ushul fiqih untuk memahami ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
"Ilmu ini berguna untuk memahami ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Jadi ada yang disebut ayatul ahkam dan ada yang disebut ahaditsul ahkam. Nah, ushul fiqh dibangun oleh para ulama untuk membaca ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits hukum dari Nabi Muhammad," jelas Kiai Moqsith dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Kamis (1/7).
Ia mengutip Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa yang membuat perumpamaan bahwa Al-Qur’an itu ibarat pohon yang memiliki potensi untuk berbuah dan disebut sebagai al-mutsmir. Sebab, tidak semua hal terdapat dalam Al-Qur’an tetapi menjadi sumber hukum atas segala persoalan yang datang belakangan.
"Di Al-Qur’an tidak ada hukum melaksanakan vaksinasi, hukum menggunakan vaksin Astrazeneca dan Sinovac. Tapi itu harus ada hukumnya. Jadi pohon yang potensial untuk berbuah itu bisa aktual berbuah, karena ada ilmunya. Ilmu yang mempelajari atau yang mengajarkan itu adalah ushul fiqih. Kita bisa menyiramnya, memberi pupuk. Kita menyebutnya thuruqul istitsmar. Orangnya disebut mustatsmir," jelas Kiai Moqsith.
Orang-orang yang ahli di bidang ilmu ushul fiqih dan mampu memahami ayat-ayat hukum di Al-Qur’an disebut sebagai mujtahid. Para mujtahid itulah yang akan mengeluarkan atau memproduksi hukum-hukum yang semula tidak ada di sumber hukum Islam yang utama.
"Sedangkan buah dari pohon yang potensial untuk berbuat itu disebut fiqih. Jadi fiqih adalah produk hukum dari ushul fiqih itu. Maka semua yang tidak ada zaman dulu itu tetap bisa diputuskan hukumnya oleh para ulama dengan menggunakan metodologi ushul fiqih,” terangnya.
Sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba sebagaimana yang termaktub dalam Al-Baqarah ayat 275. Tapi di Al-Qur’an tidak ada hukum tentang bertransaksi dengan menggunakan Kripto. Hukum mengenai itu, hanya bisa dihasilkan melalui metode ushul fiqih.
"Contoh lain, dulu yang disebut sebagai ibu adalah orang yang memiliki sel telur dan melahirkan. Di dalam teknologi modern, sering kali yang memiliki sel telur itu bukan dia yang melahirkan. Jadi banyak problem fiqih kontemporer yang belum pernah ada contohnya di dalam sejarah pemikiran manusia, tapi sekarang harus diputuskan hukumnya. Karena keputusan dari sudut fiqih ini dibutuhkan," tutur Kiai Moqsith.
Ushul fiqih, lanjutnya, dirancang oleh para ulama bukan untuk memahami ayat-ayat akidah dan kisah di dalam Al-Qur’an tetapi untuk membaca ayat-ayat hukum. Metodologi ushul fiqih ini tidak ada pada zaman Nabi Muhammad.
"Karena pada zaman Nabi tidak dibutuhkan. Kalau para sahabat tidak mengerti soal makna sebuah ayat tinggal bertanya langsung kepada Nabi. Karena Nabi menjadi sumber hukum satu-satunya ketika itu," terangnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan