PBNU Gelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban, Bahas Status Piagam PBB
Kamis, 15 Desember 2022 | 23:00 WIB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan pidato pada Pertemuan Pengantar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Jakarta, Kamis (15/12/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I pada awal Februari 2023 mendatang. Muktamar ini merupakan rangkaian acara peringatan satu abad NU.
"Ini istilah tak dikenal di dunia Islam. Tapi ini istilah yang banyak digunakan di Indonesia dan NU untuk menunjuk pada wacana keagamaan di berbagai masalah yang berkembang di masyarakat," kata Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) di hadapan sejumlah diplomat negara-negara Islam dan negara sahabat di Jakarta, Kamis (15/12/2022) malam.
Gus Yahya menyampaikan bahwa sampai saat ini, dunia masih dibayangi konflik identitas dan agama atau yang mengatasnamakan agama. Konflik ini memang bukan baru terjadi, tapi sudah sangat lama. Padahal, dunia sudah memiliki sebuah kesepakatan besar yakni piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Sayangnya, hal-hal yang disepakati secara internasional tidak serta-merta dapat diterapkan secara domestik oleh negara-negara anggota PBB. Dinamika percaturan di antara aktor-aktor global pun tidak secara konsisten mengarah kepada pemapanan dan penguatan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Dengan kata lain, visi dari Piagam PBB dan organisasi PBB adalah sesuatu yang masih harus diperjuangkan oleh mereka yang sungguh-sungguh menyetujuinya dan mempercayai kemungkinan terwujudnya.
Kelompok-kelompok Muslim yang terlibat konflik, termasuk dengan menggunakan kekerasan hingga teror, mempertahankan posisi mereka dengan mengajukan rujukan-rujukan di dalam kajian turats. Hingga satu abad lalu, konflik dan peperangan atas nama agama masih dianggap normal. Hal ini bukan sesuatu yang eksklusif menyangkut Islam saja. Pihak-pihak di luar Islam pun pada umumnya meneguhi pola sikap dan tindakan yang didasarkan pada anggapan bahwa perlawanan atas nama agama terhadap pihak lain adalah tuntutan moral.
Oleh karena itu, Muktamar Fiqih Peradaban itu akan membahas fatwa atas status legal piagam PBB itu. Para ulama ahli fiqih, kata Gus Yahya, perlu memberikan jawaban atas satu pertanyaan mendasar itu.
"Sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan Organisasi PBB –dengan mempertimbangkan alasan, proses dan mekanisme serta tujuan kelahirannya—sebagai perjanjian (‘ahd) yang mengikat umat Islam atas dasar keabsahan pihak-pihak –negara-negara dan para kepala negara—yang mengklaim posisi sebagai wakil-wakil mereka (umat Islam) pada saat menyepakatinya," kata Gus Yahya.
Gus Yahya menegaskan bahwa gagasan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban itu merupakan bagian dari upaya NU untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia internasional. "Ini awalan dari inisiatif strategis yang diusung NU dalam membangun peradaban," ujar Gus Yahya.
Muktamar ini akan dihadiri sejumlah tokoh dunia seperti Syekh Ahmad Al-Thayib (Grand Syekh Al-Azhar, Mesir); Syekh Abdullah bin Mahfudh Ibn-Bayyah (Majelis Hukama Al-Muslimin, Uni Emirat Arab); Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri (Direktur El Taba Institute, Uni Emirat Arab); Eslam Sa'ad (Peneliti Islam Kontemporer,. Mesir); Syekh Syauqi Ibrahim Allam (Grand Mufti, Mesir); dan Prof Koutoub Moustapha Kano (Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika).
Sementara dari Indonesia yang akan menjadi pembicara adalah Prof Quraish Shihab, KH Miftachul Akhyar (Rais aam PBNU), KH Ma'ruf Amin (Wakil Presiden), KH Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam PBNU), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Mustasyar PBNU).
Editor: Syakir NF