Nasional

Pembimbing Haji Perlu Berlatih Jalan Kaki dengan Jarak Tempuh Seperti saat Haji

Ahad, 18 Februari 2024 | 09:00 WIB

Pembimbing Haji Perlu Berlatih Jalan Kaki dengan Jarak Tempuh Seperti saat Haji

Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat H Ajam Mustajam saat memberikan sambutan dan membuka acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional di Asrama Haji Indramayu, 17 Februari 2024. (Foto: NU Online/Mundzir)

Indramayu, NU Online 
Berdasarkan catatan NU Online, pada tahun 2022 jamaah haji Indonesia harus berjalan kaki menyusuri jalan dari Mina (tenda penginapan) sampai dengan lokasi melempar jumrah (jamarat) sepanjang 4,5 kilometer. Jika dihitung perjalanan pulang-pergi, jamaah harus berjalan kaki sepanjang 9 kilometer. Apabila jamaah mengambil nafar awal dengan tiga hari berangkat, membutuhkan jarak tempuh total 27 kilometer.


Begitu pula pada saat sa’i, satu kali jalan dari Shafa ke Marwah jaraknya sepanjang 400 kilometer dikalikan tujuh, maka jarak yang ditempuh total menjadi 2,8 kilometer. Belum lagi thawaf yang jauh dekatnya sangat bergantung dengan kepadatan jamaah yang berpengaruh pada jauh dekatnya jamaah saat mengitari Ka’bah. 


Menyikapi kebutuhan medan seperti itu, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Barat H Ajam Mustajam berharap tenaga pembimbing haji harus mempunyai tenaga prima.

 

Hal ini ia sampaikan pada saat membuka acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional yang diselenggarakan atas kerja sama Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) dengan Ditjen PHU Kemenag Provinsi Jawa Barat dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon di Asrama Haji Indramayu, 17-24 Februari 2024. 


"Dari thawaf itu berapa kilo, sa’i berapa kilo, dari Mina ke Jamarat itu total berapa kilo, mestinya ini peserta dilatih setiap hari, latihan jalan sepanjang itu,” kata Ajam pada hari pertama kegiatan, Jumat (17/2/20204).  


Pada kesempatan yang sama, Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prof H Aan Jaelani mengingatkan bahwa definisi istitha’ah (mampu menjalankan ibadah haji) yang banyak difahami oleh masyarakat luas adalah kemampuan secara finansial saja. Masyarakat tidak terlalu banyak yang memperhatikan bahwa istitha’ah juga meliputi kesehatan secara fisik.  


“Dahulu kita memaknai konteks manis tatha’a itu biaya, namun sekarang istatha’a (juga) bermakna kesehatan, meskipun di berbagai tafsir sudah dibahas bahwa manis tatha’a itu bil mal juga bil badan,” tandasnya. 


Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Nurul Badrut Tamam mengungkapkan bahwa kegiatan sertifikasi yang diikuti oleh 153 peserta ini merupakan rangkaian kegiatan sertifikasi yang diprakarsai oleh LD PBNU dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. 


“Selain dengan IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Kanwil Kemenag Jawa Barat, di bulan Februari ini, LD PBNU juga bekerja sama dengan UIN Walisongo Semarang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ini akan terus berlanjut se-Indonesia,” katanya.