Jakarta, NU Online
Pemerintah dengan tegas menolak legalisasi pernikahan beda agama di Indonesia. Penolakan tersebut dinyatakan dalam sidang judicial review Undang Undang Perkawinan yang diajukan oleh Ramos Petege, pemohon dari Papua di Mahkamah Konstitusi (MK), belum lama ini.
Ragam akibat hukum menjadi alasan pemerintah menolak pernikahan beda agama. Di antaranya, akibat hukum perkawinan beda agama dari aspek yuridis, yaitu tentang keabsahannya, pencatatan perkawinan campuran, serta status anak dalam perkawinan beda agama.
Begitu pun dengan perceraian yang terjadi akibat masalah‑masalah perbedaan pendapat dan keyakinan dalam rumah tangga beda agama. Seperti harta benda perkawinan.
Pasalnya, warisan yang terjadi pada pernikahan beda agama tidak dapat diterima oleh ahli waris akibat hubungan perbedaan agama.
Pernyataan itu resmi disampaikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) RI, Kamaruddin Amin selaku perwakilan dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, dalam sidang tersebut.
Ia mengatakan, pernikahan beda agama dapat menimbulkan masalah psikologis seorang anak di ranah pendidikan maupun dalam memilih agama yang dianutnya.
“Terganggunya mental dan pendidikan seorang anak karena bingung memilih agama mana yang akan dianutnya akibat kompetisi orangtua dalam mempengaruhi sang anak,” kata dia.
Akibat lainnya, lanjut dia, yaitu memudarnya keharmonisan antara suami-istri yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat yang datang silih berganti.
“Akibat hukum perkawinan beda agama dari aspek psikologis yang terjadi, yaitu memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, timbulnya perbedaan pendapat dalam membina rumah tangga yang bahagia menjadi renggang akibat masalah perbedaan yang datang silih berganti,” lanjut dia.
Selain itu, diterangkan pula dibentuknya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan. Khususnya, sesuai hukum dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh hukum perkawinan masing‑masing agama. Apalagi, kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‑beda.
“Karenanya, tidak mungkin untuk disamakan suatu perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan. Apabila terjadi, tentunya akan menimbulkan diskriminasi bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan,” terang dia.
Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Larangan pernikahan juga termuat dalam Al Qur’an, Hadits Nabi saw, dan kaidah-kaidah fikih.
“Terdapat beberapa landasan hukum perkawinan dari masing-masing agama dan kepercayaan yang mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama. Misalnya, larangan perkawinan beda agama menurut agama Islam,” beber Kamaruddin.
Menurutnya, setiap pemeluk agama dan kepercayaan yang taat tentu tidak akan menyimpangi hukum perkawinan yang diatur dari agama dan kepercayaan yang dianutnya tersebut.
Sementara itu, terkait gugatan yang dilayangkan Ramos Patege, Kamaruddin menilai UU Perkawinan yang berlaku tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," kata dia.
Seperti diketahui, dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena dirinya dan kekasihnya memeluk agama dan keyakinan yang berbeda, sehingga tidak bisa melangsungkan perkawinan.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin