Penegakan Tindak Pidana Korupsi Dianggap Berhasil Jika Keuangan Negara Terselamatkan
Kamis, 5 September 2019 | 12:30 WIB
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur Nurul Ghufron mengatakan, indikator keberhasilan dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi bukan pada seberapa banyak koruptor yang tertangkap, melainkan seberapa besar keuangan negara yang terselamatkan. (Husni Sahal/NU Online)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur Nurul Ghufron menjelaskan, kelahiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah agar tidak terjadi kerugian pada keuangan negara.
Sehingga, kata Ghufron, indikator keberhasilan dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi bukan pada seberapa banyak koruptor yang tertangkap, melainkan seberapa besar keuangan negara yang terselamatkan.
“Baik (caranya) mau pemberantasan maupun pencegahan,” kata Ghuforn ketika menjadi pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Perkumpulan Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N) di Lantai 5, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (5/9). Diskusi tersebut mengusung tema ‘Penegakan Hukum dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’.
Menurut Ghufron, kalau pencegahan lebih menguntungkan dalam mengembalikan keuangan negara, maka pencegahan harus lebih didahulukan dari pada cara lain. Hukum dibentuk oleh legislator memiliki tujuan.
“Kita berproses hukum itu tidak untuk main-main. Tidak untuk memenuhi Cipinang, tidak untuk memenuhi Lapas, tapi kalau menegakkan hukum untuk tindak pidana korupsi itu untuk melindungi dan mengembalikan kerugian negara,” ucapnya.
Oleh karena itu, katanya, tidak boleh memunculkan anggapan ‘jika hukum ditegakkan, maka 100 persen keuangan negara juga akan kembali kepada negara’. Sebab, terjadinya penegakan hukum tidak serta merta atau 100 persen keuangan negara kembali.
Ia mencontohkan kasus korupsi jembatan. Menurutnya, jika pun keuangan negara yang dikorupsi oleh koruptor itu bisa kembali, tapi tidak akan dapat mengembalikan kerugian waktu dan membuat jembatan bertahan lama.
“Itu tidak bisa terkembali secara full walaupun kemudian sudah OTT atau sudah dilapaskan,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua P2N Irnanda Laksanawan juga menyoroti pentingnya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Ia menyatakan demikian karena dalam pandangannya, persoalan korupsi seperti sebuah tontonan melalui publikasi media.
“Bagaimana ke depan, korupsi bukan untuk dipertontonkan maupun dijebak pada saat mereka mengadakan hal yang salah, tetapi kalau bisa (yang harus dilakukan) lebih pada pencegahan,” kata Irnanda.
Diskusi yang dimoderatori Witjaksono ini juga dihadiri dua pembicara lain, yakni Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, dan Advokat Bambang Sri Pujo.
Editor: Muchlishon