Pengalaman Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi Atasi Covid-19
Senin, 9 November 2020 | 10:30 WIB
Jakarta, NU Online
Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur adalah salah satu pesantren yang memiliki pengalaman menghadapi Covid-19. Terdapat tiga fase pengalaman yang dialami pihak pesantren, yakni fase prakisis, fase krisis, dan fase normal baru.
Pengalaman ini diceritakan langsung oleh Gus Indi Najmu Tsaqib, salah seorang pengasuh Pesantren Darussalam. Ia sangat rinci mengisahkan bagaimana pihak pesantren mampu menghadapi dan keluar dari masa-masa kritis.
Perlu diketahui, Covid-19 di Indonesia mulai masuk sejak awal Maret. Ketika itu, sudah banyak pesantren yang mulai meliburkan atau memulangkan santri sedari awal, pada akhir Maret. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Pesantren Darussalam pun akhirnya juga memulangkan seluruh santri.
Pemulangan santri yang dilakukan dengan menggunakan sistem bergelombang. Hal tersebut lantaran kondisi yang sudah sangat genting mengingat telah banyak isu mengenai Covid-19 yang sangat mengkhawatirkan.
Seingat Gus Indi, santri yang pulang ke Sumatera, misalnya, terdapat 12 bus yang berangkat dari Banyuwangi. Namun dibagi ke dalam tiga gelombang agar tidak terlalu banyak iring-iringan bus tersebut.
Tak hanya itu, tempat-tempat pemberhentian seperti untuk shalat dan makan juga ditentukan mulai dari Banyuwangi sampai setibanya di Sumatera. Begitu pula santri yang harus pulang dengan menggunakan pesawat, yang juga ditentukan langsung oleh pihak pesantren.
Namun, santri Pesantren Darussalam yang tidak bisa pulang pada waktu itu adalah mereka yang berasal dari Papua karena bandara tempat tujuan sudah ditutup seperti Jayapura, Timika, dan Merauke.
“Akhirnya mereka (santri asal Papua) tetap di pesantren dan tidak bisa pulang sama sekali. Mereka hanya pulang ke rumah saudara yang ada di sekitar Banyuwangi,” kata Gus Indi saat bercerita dalam Pelatihan Strategi Mitigasi Covid-19 di Pesantren, pada Ahad (8/11).
Santri kembali ke pesantren
Setelah akhir Maret dipulangkan, santri diperkenankan kembali ke pesantren pada 20 Juni 2020. Kepulangan santri ke pesantren pun dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Santri yang kembali ke pesantren dilakukan dengan sistem bergelombang per daerah. Setiap daerah pun diberi jarak waktu yang agak panjang karena sebelum tiba di pesantren, santri harus menjalani masa karantina terlebih dulu.
“Memang terus terang, kita karantinanya tidak bisa 14 hari karena terkendala dengan lokasi dan fasilitas,” ungkap Gus Indi.
Solusi di Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi pada waktu itu, santri dikarantina di ruang-ruang sekolah karena keterbatasan fasilitas kesehatan. Di sana pun semuanya serba terbatas, seperti Mandi Cuci Kakus (MCK) yang sangat terbatas.
Hal tersebutlah yang membuat pihak pesantren tidak mengarantina santri saat kembali ke pondok selama 14 hari. Rata-rata, santri dikarantina hanya berkisar tujuh hingga sepuluh hari saja.
Jika sudah dinyatakan benar-benar sehat, santri diperbolehkan untuk masuk ke dalam pesantren. Setelah itu, gelombang berikutnya diberangkatkan santri dari daerah lain untuk kembali ke pesantren.
“Gelombang paling terakhir masuk pada 5 Agustus 2020. Nah ketika santri kembali, semua harus menjalani persyaratan dengan ketat seperti harus dinyatakan sehat dengan menyertakan surat keterangan sehat, harus membawa vitamin, harus membawa masker minimal 10 pcs,” ungkap Gus Indi.
Setibanya di pesantren itu, santri juga harus melaksanakan rapid test. Beberapa ada yang melaksanakan rapid test di pesantren, ada pula yang menjalani rapid test di daerah masing-masing.
“Waktu itu, ketika pulang ke Sumatera 12 bus, ketika kembali ke pesantren sudah menjadi 15 bus. Karena harus ada social distancing juga di dalam kendaraan,” jelas Gus Indi.
“Semua santri kita rapid test dan alhamdulillah tidak ada yang reaktif. Ada yang reaktif tetapi posisinya mereka masih di rumah dan belum sempat kembali ke pesantren,” tambahnya.
Selanjutnya, pada 5 Agustus 2020 setelah Hari Raya Idul Adha dan santi sudah secara kesuluruhan kembali, pihak pesantren kemudian membuat aturan main sederhana. Aturan tersebut adalah apabila ada santri yang sakit maka boleh dibawa pulang karena pesantren tidak mau ambil risiko lebih dengan mengurus santri yang sakit.
“Maksudnya kesehatan tetap menjadi sesuatu yang prioritas. Pokoknya kalau ada santri yang sakit boleh dibawa pulang,” kata Gus Indi.
Awal mula muncul permasalahan
Semua permasalahan bermula dari sini. Ketika banyak santri yang sakit dan pulang ke rumah, mereka lantas menjalani pemeriksaan kesehatan di balai kesehatan, puskesmas, dan dokter di daerahnya masing-masing.
Ketika para santri yang pulang itu menjalani rapid test di daerah masing-masing, hasilnya ada yang reaktif. Pihak pesantren, melalui Gus Indi, diberi kabar oleh wali santri terkait hasil dari rapid test itu.
Dalam satu hari, pihak pesantren mendapat kabar bahwa ada empat orang santri yang reaktif. Mereka itu adalah santri yang saat sakit, kemudian dibolehkan untuk pulang. Akhirnya, Pesantren Darussalam didatangi oleh Dinas Kesehatan setempat.
“Mereka (petugas dinas kesehatan) akan melacak teman dekatnya dari empat santri yang reaktif itu. Keempatnya itu adalah santri perempuan. Saya bingung waktu itu saat ditanya, teman dekatnya yang mana dari anak empat ini,” ungkap Gus Indi.
Sebab, ia menjelaskan bahwa kultur yang terjadi di pesantren itu adalah kumpul-kumpul sehingga tidak mengetahui secara pasti siapa teman terdekat dari keempat santri yang reaktif itu.
“Kita ini kan di pesantren kumpul terus. Kanan-kiri pasti selalu orang yang berbeda. Tidur, temannya berbeda. Kemudian bangun pagi ke kamar mandi, kanan-kiri temannya sudah berbeda lagi. Nanti jamaah subuh berbeda lagi. Ketika ngaji juga berbeda lagi. Artinya kalau dicari teman dekatnya, kita kebingungan,” ungkapnya.
Setelah melakukan beberapa kali diskusi, Pesantren Darussalam akhirnya melakukan rapid test untuk 512 santri pada 16 Agustus 2020. Dari 512 santri itu, sebanyak 93 santri dinyatakan reaktif dari hasil yang dikeluarkan pada sore, di hari yang sama. Lalu mereka langsung diisolasi.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi kemudian menawarkan pihak pesantren agar 93 santri itu menjalani tes swab. Gus Indi bersama pihak pesantren yang lain, telah berfikir matang-matang soal bagaimana konsekuensi yang harus diterima, seperti pemberitaan yang ramai di media.
“Jadi waktu itu ada yang bilang Blokagung terlalu terbuka sekali. Tetapi kita hanya mengikuti aturan main saja. Akhirnya pada 18 Agustus 2020, diswablah 93 santri ini di dua rumah sakit yang ada di Banyuwangi,” jelas Gus Indi.
Sepulang dari tes swab itu, para santri langsung ditempatkan kembali di ruang isolasi, tidak ke asrama. Lalu pada 19 Agustus 2020, Dinas Kesehatan mengabarkan, akan menjemput dua orang santri yang dinyatakan positif Covid-19 setelah dtes swab.
“Inilah hal yang paling tidak kita inginkan. Kami dikabarkan bahwa ada dua santri yang dinyatakan positif Covid-19. Waktu itu, saya yang dihubungi oleh Dinas Kesehatan untuk menjemput kedua santri itu,” tutur Gus Indi.
“Fikiran saya sudah kacau. Kalau nanti tiba-tiba ada tim kesehatan pakai APD lengkap, pakai ambulan, bawa santri, bagaimana hebohnya pesantren ini?” katanya, bertanya-tanya saat kejadian yang tidak diinginkan itu terjadi.
Lalu dengan inisiasinya sendiri, Gus Indi menyampaikan kepada Dinas Kesehatan Banyuwangi itu agar dua santri yang positif Covid-19 itu diantar saja. Tidak dijemput dari pihak rumah sakit. Sebab, ia khawatir santri akan kaget jika dijemput oleh petugas berpakaian APD lengkap.
“Saya dapat ide dan bilang ke mereka (dinas kesehatan) untuk mengantarkan dua santri itu naik sepeda motor. Karena dua anak ini tidak apa-apa sama sekali, mereka sehat. Tanpa gejala apa-apa. Akhirnya saya panggil mereka di ruang isolasi,” kata Gus Indi.
“Saya bilang ke mereka bahwa akan ada pemeriksaan lebih lanjut di puskesmas. Saya suruh mereka motoran anak dua, saya ikuti dari belakang. Sampai di sana sudah ditunggu tim medis di sana,” tambahnya.
Setibanya di rumah sakit, kedua santri tersebut diberi penjelasan oleh petugas medis. Sontak, mereka langsung menangis sesegukan. Fikiran Gus Indi kian kalut karena harus memberi kabar ke dewan pengasuh pesantren bahwa ada santri yang positif Covid-19.
Ia juga harus mengabarkan kedua orangtua santri itu karena akan diisolasi di rumah sakit. Gus Indi membayangkan bagaimana respons wali santri saat mendengar kabar bahwa anaknya positif Covid-19.
Keesokan harinya, pada Kamis (20/8), santri yang positif Covid-19 bertambah dua orang. Total, ada enam santri yang dinyatakan positif dan harus diisolasi di rumah sakit.
“Setelah itu, kami langsung mengadakan tes swab massal untuk seluruh santri, guru, dan pengasuh. Waktu itu kami hanya berfikir untuk bisa melalui ini semua. Mereka (dinas kesehatan) menganjurkan swab, kami lakukan. Kami mengikuti semua anjuran yang diberikan,” tutur Gus Indi.
“Karena terus terang waktu itu, saya bingung mau minta saran ke mana,” ungkapnya.
Dihajar pemberitaan media
Setelah hasil swab diterima dan banyak santri yang dinyatakan positif Covid-19, Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi ini menjadi incaran media massa untuk dijadikan bahan pemberitaan. Hal ini yang dirasa Gus Indi menjadi permasalahan yang rumit.
“Waktu itu media menghajar. Kita nggak tau harus bagaimana. Santri harus dikasih apa? Kita bingung. Pengobatan seperti apa? Karena waktu itu pengobatan hanya ada di sebaran chat di grup-grup whatsaap saja,” kata Gus Indi.
Pihak pesantren lantas mengambil langkah inisiatif. Sebanyak 93 santri perempuan yang dikarantina diberi makanan sesuai dengan kesukaannya masing-masing. Seperti bakso, mie ayam, susu, sempol, dan makanan-makanan favorit yang lain.
Pengabaran seperti itulah yang kemudian muncul di berbagai media. “Karena kita tidak tahu harus bagaimana waktu itu tapi di media sudah habis-habisan kita dihajar,” ungkap Gus Indi.
Menutup akses komunikasi ke luar
Karena pemberitaan media yang terlalu berlebihan, akhirnya pihak pesantren menutup seluruh akses komunikasi ke luar. Telepon dari dan ke luar pesantren, ditutup total. Begitu pun akses komunikasi yang ditutup jika santri ingin menghubungi orang di luar pesantren.
“Semuanya kita tutup. Karena kita khawatir, kalau ada walisantri yang menghubungi santri, pasti mereka akan menceritakan kondisi yang tidak enak kondisi di pesantren. Tetapi media pesantren yang lain, kita aktifkan semua. Kita tonjolkan ke mereka bahwa kondisi pesantren baik-baik saja,” tutur Gus Indi.
Selanjutnya dibuat perjanjian yang disepakati pihak pesantren dengan berbagai pihak seperti Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, TNI-Polri, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kesepakatan itu dinyatakan bahwa semua santri harus dikarantina. Semua kebutuhan santri akan dicukupi dari luar. Akhirnya dimulai sejak 31 Agustus 2020, santri dikarantina total. Semua santri harus di dalam, tidak satu pun diperbolehkan untuk keluar-masuk pesantren.
“Kita sudah mulai kita pecah untuk lokasi karantinanya. Ada yang di pesantren putra, pesantren putri, dan ada yang di gedung-gedung pendidikan. Waktu itu memang terasa genting sekali. Sampai-sampai jalan di desa pun ditutup oleh aparat, saking takutnya. Masyarakat sekitar juga merasakan genting, bukan hanya pihak pesantren,” tutur Gus Indi.
Pesantren Darussalam berhasil melewati masa-masa krisis
Pada 14 September 2020, karantina dinyatakan selesai. Lalu diadakan wisuda bagi Penyintas Covid-19. Kegiatan itu dimaksudkan agar dunia luar mengetahui bahwa Pesantren Darussalam Bblokagung Banyuwangi sudah tuntas menghadapi musibah ini.
“Nah ketika sudah memasuki masa normal baru ini, kami fokus pada peningkatan fasilitas kesehatan untuk santri. Jadi sekarang kami mempersiapkan ruang kesehatan, ruang karantina, dan ruang isolasi,” katanya.
“Kalau selama ini, kita hanya menyiapkan ruang kesehatan. Sebelumnya pesantren tidak pernah memikirkan dan menyiapkan ruang karantina dan ruang isolasi. Sekarang kita menyiapkan ruang kesehatan tapi tetap dengan segala kekurangannya,” imbuh Gus Indi.
Menurutnya pesantren-pesantren di Indonesia selama ini, paling maksimal hanya memiliki Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Pesantren yang memiliki klinik pun masih jarang. Lebih-lebih memiliki rumah sakit.
“Hanya pesantren-pesantren tertentu saja yang saat ini memiliki rumah sakit. Kalau untuk Pesantren Darussalam ini doakan semoga segera punya rumah sakit sendiri,” pungkas Gus Indi.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad