Pengasuh Pesantren Krapyak Ungkap 3 Generasi Pendidikan Al-Qur'an di Indonesia
Kamis, 17 November 2022 | 05:40 WIB
Tangkapan layar Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta KH Abdul Hamid Abdul Qodir saat mengisi acara Multaqa Ulama Al-Quran Nusantara 2022, Rabu (16/11/22).
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta KH Abdul Hamid Abdul Qodir memaparkan bahwa tradisi mempelajari dan menghafal Al-Qur'an di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Tradisi tersebut tumbuh besar beriringan dengan tersebarnya agama Islam di Nusantara.
"Tradisi mempelajari dan menghafal Al-Qur’an sudah ada sejak dulu. Di mana ada pembelajaran Islam, di situ Al-Qur'an menjadi pembelajaran dasar termasuk pembelajaran tahfidz," ungkapnya saat mengisi acara Multaqa Ulama Al-Qur'an Nusantara 2022, Rabu (16/11/22).
Menurut KH Abdul Hamid, walaupun pada masa awal belum ada pondok pesantren tahfidz secara resmi, namun terdapat bukti sejarah berupa mushaf Al-Qur’an yang ditulis dengan tangan dengan jumlah 250 manuskrip.
"Sebelum ada mesin cetak di Nusantara upaya penggandaan Al-Qur'an dicetak dengan tulis tangan. Menurut catatan yang kami nukil ada 250 manuskrip mushaf Al-Qur'an yang dimiliki oleh kalangan tertentu atau tokoh-tokoh tertentu," tuturnya.
Disebabkan jumlah Al-Qur'an pada masa dulu terbatas, mempelajari dan membaca Al- Qur'an menjadi hal istimewa, lebih-lebih jika sampai pada taraf mengahafal Al-Qur'an.
KH Abdul Hamid memparkan, sejak abad ke-15 pesantren telah tumbuh di Nusantara, namun dalam catatan belum ada yang secara khusus atau spesifik membuka pesantren tahfidz Qur'an. Pada abad selanjutnya, menurutnya pesantren yang tumbuh semakin banyak. Namun meskipun pada masa itu banyak kiai penghafal Al-Qur'an, di antara mereka belum ada yang berani membuka pesantren tahfidz.
KH Abdul Hamid membagi tiga generasi ragam pendidikan Al-Qur'an di Indonesia dalam rentang atau lintas sejarah. Generasi awal sekitar tahun 1900-an sebelum merdeka, tradisi menghafal Al-Qur'an sudah dilakukan oleh ulama Nusantara. Menurutnya banyak ulama yang belajar berpuluh puluh tahun bersama gurunya sampai ke Makkah dan Madinah.
"Ulama yang belajar sampai Makkah dan Madinah tersebut pulang ke Tanah Air kemudian mendirikan pesantren. Contohnya Pesantren Tahfidzul Qur’an Sidayu Gersik didirikan tahun 1910 oleh KH Muhammad Munawar. Pondok tersebut kemudian berubah nama menjadi Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al-Munawwar," terangnya.
"Tahun 1917 KH Said Ismail mendirikan Pesantren Bustanul Tuhfadz Assaidiyah di Sampang, disusul, Madrasatul Arabiyatul Islamiyah di Wajo Sulawesi selatan tahun 1930 oleh KH Muhammad Arsyad Bin Abdul Rasyid, dan pesantren lainya," imbuhnya.
Selanjutnya kurun kedua pascakemerdekan. Setelah santri di era awal dinyatakan lulus, santri -santri tersebut mendirikan pesantren di daerah masing-masing. Mereka meneruskan tradisi orang tua dengan menambah program Al-Qur'an lainnya.
"Kurun kedua, contohnya Pesantren Al-Qur'an Asy’arriyah Wonosobo, Pesantren Al- Aulia Bogor (1976) oleh KH Yusuf Junaidi, Yanbu’ul Qur’an Kudus oleh KH Arwani Amir, dan banyak pondok pesantren Al-Quran lainnya di kurun kedua," terangnya.
Lebih lanjut, KH Abdul Hamid menerangkan bahwa di kurun ketiga atau di era sekarang banyak sekali pondok pesantren/rumah tahfidz yang tersebar bahkan di seluruh Nusantara. Menurutnya hal itu menggambarkan bahwa minat orang Indonesia terhadap Al-Qur'an semakin maju dan berkembang.
Kontributor: Siti Maulida
Editor: Kendi Setiawan