Penting Terus Hidupkan Kebijakan Presiden Gus Dur tentang Pemberdayaan Perempuan
Kamis, 30 Desember 2021 | 12:15 WIB
Jakarta, NU Online
Menyambut Haul Gus Dur, Jaringan Gusdurian mengadakan kegiatan festival bulan Gus Dur sepanjang Desember-Januari. Kegiatan ini menghadirkan beberapa narasumber dari orang-orang terdekat Gus Dur dan penulis buku-buku Gus Dur. Salah satunya, Ashilly Achidsti penulis buku Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid.
Acara bertajuk 30 Menit bareng Mbak Hilly yang tayang melalui kanal Gusdurian TV, Senin (27/12/2021) lalu membahas sejumlah kebijakan Gus Dur tentang kesetaraan gender selama menjabat Presiden ke-4 RI dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Hilly, sapaan akrabnya, mengungkapkan pada masa orde baru perempuan hanya dipandang sebagai objek kebijakan namun di masa Gus Dur perempuan dipandang sebagai subjek kebijakan.
Contohnya, kebijakan Kementerian Urusan Wanita yang saat itu hanya fokus mengedepankan peran reproduksi perempuan.
“Kementerian Urusan Wanita pada saat itu fokusnya mendorong program keluarga berencana (KB) untuk perempuan dan ASI enam bulan, tetapi tidak mengedepankan peran-peran perempuan di ranah publik terutama peran sebagai pengambil kebijakan,” ujar Hilly.
Namun saat Gus Dur menjadi presiden, lanjutnya, perempuan justru didorong untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan, pembuatan rancangan, implementasi hingga evaluasi. Salah satunya dengan menyetujui usulan dari Khofifah Indar Parawansa terkait perubahan nama Kementerian Urusan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
“Karena nomenklatur perubahan kementerian menjadi hak dan kewenangan presiden maka Gus Dur saat itu setuju diubah karena hal itu dianggap tidak bertolak belakang dengan gerakan internasional dan diharapkan lebih mengaktifkan perempuan di ranah publik,” ujar Peneliti Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM itu.
Kebijakan ini diperkuat dengan hasil keputusan Munas Alim Ulama di Lombok. “Perjuangan terhadap perempuan juga terlihat ketika Gus Dur menjadi Ketua PBNU di mana Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lombok menghasilkan keputusan bahwa peran perempuan bukan hanya di ranah domestik saja tetapi bisa di ranah publik,” papar Hilly.
Pada kesempatan itu, Hilly juga menceritakan upaya Gus Dur dalam melakukan diplomasi terhadap buruh migran. Diceritakan, saat itu kelompok perempuan mendapatkan informasi bahwa salah satu buruh migran Indonesia akan dihukum mati kemudian sekelompok perempuan tadi menyampaikan ke Khofifah dan diteruskan kepada Gus Dur.
Mendapat informasi tersebut, Gus Dur dengan kewenangannya sebagai presiden melakukan diplomasi tingkat tinggi kepada Raja Fadh langsung.
“Gus Dur dengan inisiatifnya telepon Raja Fadh dan negosiasi akhirnya menemukan jalan keluar yakni menunggu ahli waris dari majikan beranjak dewasa. Di sini Gus Dur menghadirkan diplomasi yang tidak kaku,” tuturnya.
Hilly berharap kepada pemimpin negara maupun pengambil kebijakan saat ini bisa meneladani Gus Dur dalam membuat kebijakan yang dapat melindungi perempuan maupun laki-laki dalam rangka kesetaraan gender apalagi melihat kekerasan seksual hari ini yang belum ada payung hukumnya.
“Kita bisa menanyakan komitmen pemimpin negara dan pengambil kebijakan yang itu seharusnya seberani Gus Dur meskipun pada waktu itu Gus Dur bentuknya hanya melalui inpres bukan Undang-undang,” tandas Hilly.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad