Pentingnya Pertemuan Pemimpin Agama untuk Mengikis Polarisasi Pemilu 2024
Senin, 15 Mei 2023 | 19:30 WIB
Jakarta, NU Online
Menjelang Pemilihan Umum tahun 2024, media sosial mulai diramaikan oleh berita-berita politik yang bermuara pada aksi dukungan terhadap bakal calon presiden yang sudah dideklarasikan masing-masing partai politik atau gabungan partai politik. Secara umum, narasi dan konten yang disebar oleh masing-masing pendukung bakal calon menampilkan keunggulan, prestasi, hingga kehidupan pribadi.
Namun, ditemukan pula akun-akun media sosial yang menyudutkan bakal calon presiden tertentu dengan narasi yang mengancam adanya perpecahan. Perdebatan di media sosial terkait dengan pemilu 2024 juga kian terlihat. Sikap yang sama ditunjukkan oleh para politisi, mereka cukup aktif melakukan pembelahan dengan cara-cara yang sedikit provokatif.
Pemilu 2019 lalu dianggap sebagai Pemilu yang cukup melelahkan. Pada gelaran Pemilu tahun itu, ada banyak penyelenggara pemilu yang wafat karena kelelahan. Demikian pula para pendukung calon yang juga harus merenggut nyawa akibat mengikuti aksi demonstrasi terkait hasil pilpres 2019.
Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Ahmad Suaedy, mengatakan, pemilu 2024 jangan sampai memunculkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Menurut dia, kebersamaan dan persaudaraan sesama anak bangsa jauh lebih penting dibanding sekadar mendukung calon tertentu.
Mantan peneliti senior Wahid Institute ini menambahkan, pemimpin agama-agama atau pimpinan organisasi masyarakat berbasis agama di Indonesia, memiliki peranan yang cukup penting untuk membuat suasana Pemilu 2024 yang damai dan sejuk. Salah satu upaya yang bisa dilakukan, lanjut Suaedy, yaitu harus adanya pertemuan antara masing-masing pemimpin agama, atau pemimpin Ormas.
“Mereka semua ketemu, membicarakan masa depan Indonesia dan strategi menghadapi pilpres,” kata Suaedy kepada NU Online, Senin (15/5/2023).
Suaedy menilai, perdebatan di media sosial saat ini cenderung mengkhawatirkan, karena mulai terlihat menyinggung masalah identitas agama. Untuk mengikis polarisasi di tengah-tengah masyarakat, peran pemimpin agama dan pemimpin ormas sangat dibutuhkan.
“Para tim (pendukung) sudah mengerikan sekali, sudah ada yang mengarah kepada penghinaan kelompok. Kalau masalah ini, hanya pemimpin agama yang bisa mengatasi,” tuturnya.
Kedepankan substansi
Selain itu, Doktor Bidang Studi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menilai, perdebatan yang terjadi di media sosial, yang melibatkan para pendukung calon, tidak memiliki substansi. Masyarakat dan para pendukung tersebut hanya melihat soal tokoh dan partai semata.
“Substansinya tidak ada, kita tidak tahu juga gambaran misalnya Prabowo menang jadi apa, Ganjar menang jadi apa, Anies menang jadi apa. Yang dipermainkan adalah soal identitas tadi, maka kita perlu masuk ke substansi,” katanya menegaskan.
Karena itu, menurut Ahmad Suaedy, dinamika yang terjadi pada Pemilu tahun 2024 harus mengedepankan substansi. Salah satunya terkait konsep keadilan Indonesia lima tahun ke depan.
“Misalnya ada kesenjangan petani kota dan desa, petani dan industri, lalu bagaimana agar kehidupan petani kalaupun ada kesenjangan, bagaimana agar kesenjangan itu semakin dekat,” ucapnya.
Ahmad Suaedy mencontohkan, Pemilu Malaysia yang menampilkan gagasan dari masing-masing calon tahun 1970-an. Saat itu, Mahathir Mohamad menerbitkan buku tentang malikil ma atau afirmasi terhadap masyarakat melayu. “Nah di Indonesia seperti apa?” ungkapnya.
Kekhawatiran adanya polarisasi Pemilu 2024 juga sempat disampaikan oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin. Menurutnya, Pemilu 2024 idealnya terbebas dari penggunaan politik identitas yang dapat menyebabkan polarisasi sosial.
“Polarisasi Pemilu lalu, yang kemudian membawa isu-isu identitas, itu jangan sampai diulangi,” pinta Wapres belum lama ini.
Wapres berharap, Pemilu 2024 tidak membuat persaudaraan masyarakat Indonesia menjadi retak. Salah satu upayanya, kata Wapres, yaitu dengan adanya arahan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad