Penyatuan Almanak Hijriyah Bisa Diwujudkan, Jika 5 Hal ini Dilakukan
Jumat, 3 Juli 2015 | 12:01 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A Ghazalie Masroeri turut prihatin terkait dengan penentuan awal hijriyah yang setiap ormas seringkali berbeda. Apalagi, menurutnya, jalan menuju penyatuan almanak hijriyah di Indonesia masih jauh akan terwujud. Oleh karena itu, menurutnya harus ada titik temu dalam upaya penyatuan ini.<>
“Misal dengan menetapkan beberapa kriteria yang disepakati bersama,” ujar Kiai Ghozali Masroeri dalam konferensi pers, Kamis (2/7) di lantai 5 Gedung PBNU Kramat Raya Jakarta.
Dalam kegiatan tersebut, Kiai Ghazalie memberikan beberapa kriteria titik temu untuk menyatukan almanak hijriyah di Indonesia, yaitu:
1. Mendasarkan pada al-Qur’an dan As-Sunnah;
2. Adanya kesepahaman tentang sumber ilmu hisab;
3. Adanya kesamaan pandangan bahwa pergantian awal bulan qomariyah ditandai dengan adanya hilal. Oleh karena itu, perlu dikaji kriteria hilal menurut bahasa, al-Qur’an/Tafsir, As-Sunnah, dan Sains;
4. Memahami kata rukyat secara benar;
5. Adanya kesepakatan kriteria imkanur rukyat (sebuah kondisi dimana hilal bisa diamati).
“Itu semua bisa terwujud apabila kita semua mau duduk bersama. Namun perlu bertahap, tidak seperti sidang itsbat. Campur aduk antara ahli agama dan saintis (ilmuwan) yang kadang-kadang satu sama lain kurang mengerti, yang satu rambu-rambunya di sini, dan yang lain rambu-rambunya di sana,” kata Kiai Ghazalie.
Karena itu, lanjutnya, pertemuan khusus agar diadakan terlebih dahulu. Pertama, seperti pertemuan ahli agama. Karena penentuan bulan hijriah itu memerlukan kajian agama yang sangat mendasar yang ang belum tentu para saintis mengerti.
Sesudah para ahli menyepakati pertemuan tentang penentuan tersebut, tambahnya, kedua, baru diperluas dari hasil pertemuan para saintis. Lalu kita cocokkan, benar tidak. Apa itu hilal? Apa itu bulan sabit. Nah di sinilah pentingnya pertemuan itu.
“Yang ketiga, kita sadar bahwa di sekitar kita ada kelompok-kelompok yang mempunyai pandangan berbeda, yang tidak boleh kita abaikan,” tuturnya.
Kiai Ghazalie melanjutkan, dalam hal inilah pentingnya pertemuan antara alim ulama, saintis, dan kelompok-kelompok tradisional atau kelompok-kelompok tarekat di atas. “Kita bisa merumuskan semua ini jika dari kita semua terbuka dan mempunyai komitmen penyatuan metode penentuan awal bulan hijriah,” terangnya.
Selama ini, kata Kiai sepuh ini, perbedaan itu disebabkan karena metode yang digunakan dan kriteria-kritera yang ditetapkan berbeda. Sehingga memerlukan penyatuan dan komitmen bersama. “Hanya di Indonesia yang dalam satu negara tetapi berbeda. Di negara-negara lain dalam satu negeri sama, paling berbeda antarnegara,” ungkapnya.
Mengenai persamaan awal Ramadhan yang lalu, Kiai Ghozali menerangkan, bahwa hal itu semata-mata karena fenomena alam berdasarkan rukyatul hilal yang dilakukan oleh NU. Jika dalam hisab atau rukyat ada perbedaan selisih satu detik saja, niscaya awal Ramadhan lalu juga akan berbeda. Dengan demikian, metode rukyat menjadi penting dalam penentuan awal bulan hijriyah. (Fathoni)