Jakarta, NU Online
Media-media Islam moderat memiliki peran penting untuk melakukan edukasi dan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal. Media ini menjadi sangat strategis dalam mempromosikan nilai Islam rahmatan lil alamin, Islam yang sejuk, NKRI, Pancasila, dan Binneka Tunggal Ika. Karenanya media moderat harus berbagi peran dengan cara mengetahui peta narasi radikalisme baik kekuatan maupun kelemahanya.
"Kita harus siapa yang dihadapi. Narasi apa saja yang mereka kembangkan. Kita juga harus tahu di mana celah mereka, berapa kekuatan mereka, di mana kelemahaannya, dan bagaimana kita melakukannya. Kalau belum, mari kita samakan persepsi dan tujuannya," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Hamli.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pemateri pada Sarasehan Media Moderat dan Perumusan Program Strategis Sindikasi Media Islam (SMI) di Hotel Royal, Kuningan, Jakarta, Selasa (6/8).
Hamli mengajak media moderat yang tergabung dalam SMI untuk mencontoh strategi sepakbola. Dalam sepakbola itu ada bola, lawan dan gawang.
"Kalau masing-masing main sendiri, bola akan di tengah saja dan tidak akan gol-gol. Makanya media moderat harus satu suara melawan narasi yang ingin memecah belah Indonesia," lanjut Hamli.
Ia mencontohkan narasi radikal yang dikembangkan setiap kelompok radikal berbeda-beda. Al-Qaeda awalnya mengembangkan narasi perlawanan komunis, sementara ISIS 'menjual' narasi khilafah, negeri akhir zaman, dan negeri syariah. Begitu juga dengan kelompok-kelompok yang lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan HTI yang juga mengembankan narasi berbeda.
Saat ini, ungkap Hamli, banyak narasi dan konten yang dikembangkan kelompok radikal. Bahkan ada beberapa narasi digunakan sebagai bahan promosi iklan.
"Jadi dalam melawan narasi, media moderat harus memahami petanya. Kalau ada narasi-narasi begini, anda hantam sembarangan, nanti akan menyerang balik," tukas Hamli.
Ia menekankan, peran media Islam moderat yang tergabung secara resmi dalam SMI ini sebaiknya mengambil peran dalam memberikan moderasi pemikiran agama dan Islam rahmat yang sejalan dengan NKRI. Hal ini menurutnya sangat penting mengingat berbagai survey ada potensi menguatnya masyarakat menginginkan negara dengan ideologi agama tertentu.
Salah satu yang dikutip Hamli, misalnya, Alvara yang menyatakan 18,1 persen orang Indonesia ingin khilafah atau tidak mau NKRI. Kemdian 42,47 persen nasionalis religius, sedangkan nasionalis 39,43 persen.
Dirinya berharap dengan keberadan media moderat di bawah SMI, bisa meningkatkan jumlah prosentase kelompok nasionalis.
“Sekaligus mengurangi prosentase masyarakat yang pro khilafah di negara ini,” pungkasnya. (M Aras P/Ibnu Nawawi)