Halaqah Fiqih Peradaban dengan tema Kontekstualisasi Kitab Kuning dalam Menghadapi Tantangan Modernitas di Eraa Tatanan Dunia Baru di Aula Akademi Keperawatan (Akper) Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat pada Jumat (30/12/2022). (Foto: NU Online/Syakir)
Cirebon, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren menyelenggarakan Halaqah Fiqih Peradaban dengan tema Kontekstualisasi Kitab Kuning dalam Menghadapi Tantangan Modernitas di Eraa Tatanan Dunia Baru. Kegiatan ini digelar di Aula Akademi Keperawatan (Akper) Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat pada Jumat (30/12/2022).
Halaqah ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu (1) KH Husein Muhammad, Mustasyar PBNU; (2) KH Abdul Moqsith Ghazali, Katib Syuriyah PBNU; dan (3) KH Wawan Arwani Amin, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon. Halaqah ini dipandu Ustadz Muhammad Sofi Mubarok, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon.
Kiai Moqsith menjelaskan bahwa kontekstualisasi kitab kuning sudah dibicarakan di Watucongol, Magelang pada tahun 1988, sebelum Muktamar NU di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Ia juga menjelaskan bahwa di dalam fiqih muamalah, terbuka ijtihad. Banyak hal yang tidak tertuang dalam teks-teks nash sehingga perlu diinisiasi fiqih baru tanpa meninggalkan nash sebagai pijakannya.
“Harus diinisiasi fiqih baru jika tidak ada penjelasan turats,” kata pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia mencontohkan batas teritorial negara yang baru muncul dan tidak terdapat dalam teks-teks turats. Padahal di zaman Nabi Muhammad saw tidak ada batasan teritorial. Hal tersebut merupakan realitas baru. Karenanya, ia menegaskan perlu ada fiqih baru dalam mengungkap realitas yang baru itu.
Dari hal itu juga, Kiai Moqsith menyebut bahwa realitas dan teks merupakan simbiosis mutualisme, teks melahirkan realitas dan realitas melahirkan teks baru.
Sementara itu, Kiai Husein menyampaikan bahwa seluruh produk keagamaan adalah produk Arabia abad pertengahan dalam nuansa budaya dan sistem patriarkhismenya. Namun, jarang yang membaca produk keagamaan sendiri. Padahal, telah terjadi perubahan situasi sosial, pergantian zaman, perbedaan ruang dan tradisi yang membuat hukum bisa berubah.
Karenanya, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Fikr Arjawinangun itu menyampaikan perlunya para ulama dapat lebih terbuka dalam memahami teks. Ia mengajak bergeser dari tekstualisme ke kontekstualisme, dari tafsir ke ta’wil, dari langit ke bumi.
“Sudah saatnya kita memahami teks keagamaan secara lebih terbuka,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Darul Fikr, Arjawinangun, Cirebon itu.
Adapun Kiai Wawan menyampaikan bahwa para pemikir NU sangat luar biasa dalam membahas realitas. Ia mengapresiasi inisiasi PBNU untuk menyelenggarakan kegiatan ini untuk dapat memberikan wawasan para kiai di tingkat Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) dan Pimpinan Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU).
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad