Aru Lego Triono
Penulis
Jakarta, NU Online
Program Halaqah Fiqih Peradaban yang digagas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah diluncurkan. Halaqah yang akan dilaksanakan di 250 titik se-Indonesia ini perdana digelar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada 11 Agustus 2022 lalu.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menyebutkan, tujuan Halaqah Fiqih Peradaban digelar secara bergilir selama lima bulan adalah demi mewujudkan supremasi syuriyah dan melahirkan para kiai pemikir di lingkungan NU.
Ia menjelaskan bahwa Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf memiliki filosofi mengenai gelaran Halaqah Fiqih Peradaban ini, yakni hal terpenting bukanlah hasil akhir tetapi justru prosesnya. Proses itu adalah mengajak kiai-kiai NU untuk diskusi. Karena memang, halaqah ini merupakan forumnya para kiai atau jajaran syuriyah di NU.
Supremasi syuriyah menjadi salah satu tema penting yang disampaikan Gus Yahya sejak Muktamar Ke-34 di Lampung. Jajaran syuriyah saat ini ditempatkan di posisi tertinggi dan menjadi rujukan dalam berorganisasi di jamiyah NU.
“Supaya syuriyah ini bisa tinggi posisinya, para kiai juga harus sadar mengenai tantangan yang dihadapi dunia sekarang, sehingga bisa menjadi rujukan yang cukup terpandang dan otoritatif ketika bicara mengenai konteks peradaban baru ini, supaya tidak kalah dengan tanfidziyah,” jelas Gus Ulil dalam tayangan gelar wicara di TVNU, dilihat NU Online, Jumat (19/8/2022).
Di dalam Halaqah Fiqih Peradaban itu akan tercipta proses diskusi para kiai dengan kembali membuka kitab-kitab fiqih klasik. Tak hanya itu, kitab-kitab yang dibaca itu pun akan didialogkan dengan kenyataan peradaban baru.
“Hasilnya seperti apa tidak penting, kata Gus Yahya, yang penting kiai diskusi. Kalau selorohnya beliau itu yang penting diskusi supaya kiai-kiai ini tidak disibukkan oleh pilkada terus. Karena sekarang ini politik begitu berkuasa, begitu dominan di dalam setiap aspek kehidupan kita,” katanya.
“Janganlah energi kita terserap habis dalam politik. Karena di situ ada ruang untuk pemikiran, refleksi, untuk buka kitab lagi, bagaimana mendialogkan kitab-kitab kita dengan kenyataan baru. Ini menurut saya, visi yang tepat sekali,” imbuh Gus Ulil, menyampaikan pesan Gus Yahya.
Lahirkan Kiai Pemikir
Pada era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), PBNU juga menggelar pertemuan para kiai bertajuk Halaqah Rekontekstualisasi Kitab Kuning yang dimulai sejak Muktamar Ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, pada 1989. Dari forum-forum itu, lahirlah para kiai pemikir.
Gus Ulil menyebut KH Masdar Farid Mas’udi yang ditunjuk Gus Dur sebagai penanggung jawab halaqah memiliki peran besar karena melahirkan beberapa kiai pemikir. Di antaranya KH Abdul Wahid Zaini dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Selain itu, ada KH Husein Muhammad dari Cirebon, Kiai Ubaidillah Shodaqoh (kini Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah), dan KH Malik Madani.
“Tetapi salah satu hasil yang penting dari diskusi halaqah-halaqah era itu adalah terjadinya pergeseran pola bermazhab. NU memutuskan di Munas Alim Ulama Lampung, sebelum Muktamar Cipasung bahwa corak bermazhab di NU tidak lagi qauli tetapi manhaji,” jelas Gus Ulil.
Ia menjelaskan, sejak keputusan di Munas Alim Ulama Lampung itu, para kiai NU tetap bermazhab ala Syafi’i tetapi tidak hanya sekadar qauli atau tekstual, tetapi mengikuti mazhab Imam Syafi’i secara manhaji atau metodologis.
Keputusan tersebut terjadi karena didahului oleh diskusi-diskusi pemikiran para kiai. Dengan kata lain, halaqah-halaqah itu menyiapkan para kiai secara intelektual untuk kemudian berubah dan mengambil keputusan sangat spektakuler, yakni bermazhab tidak hanya qauli tetapi juga manhaji.
“Jadi, halaqah ini betul-betul punya dampak riil. Kita berharap, di halaqah era Gus Yahya ini juga semoga membawa berkah yang besar bagi NU secara pemikiran dan secara gagasan,” pungkas Gus Ulil.
Supremasi syuriyah telah dinyatakan secara tegas oleh Gus Yahya pada saat Pengukuhan Lembaga dan Badan Khusus PBNU, di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Maret 2022 lalu.
Ketika itu, dinyatakan bahwa syuriyah adalah pemimpin tertinggi sekaligus pemegang hak milik atas NU. Sementara tanfidziyah, hanya orang-orang yang dipekerjakan saja. Untuk itu, Gus Yahya memerintahkan seluruh jajaran tanfidziyah memakai celana panjang agar siap melaksanakan tugas dari syuriyah.
Penjelasan mengenai tugas syuriyah dan tanfidziyah itu termaktub di dalam Bab VII Pasal 14 ayat 3 dan 4 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama. Di ayat itu dijelaskan, syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama. Sementara tanfidziyah adalah pelaksana.
Selain itu, di dalam Bab XVIII Pasal 57 Anggaran Rumah Tangga NU, dijelaskan tentang wewenang serta tugas syuriyah dan tanfidziyah. Di dalam ayat 2 pada pasal itu dijelaskan, syuriyah bertugas merumuskan kebijakan umum organisasi, mengarahkan dan mengawasi tanfidziyah serta melakukan konsolidasi syuriyah pada tingkat di bawahnya.
Sementara tugas tanfidziyah dijelaskan di ayat 3. Di dalam ayat itu diuraikan bahwa tanfidziyah bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan kegiatan organisasi berdasarkan kebijakan umum organisasi yang ditetapkan oleh muktamar dan syuriyah.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua