Nasional

Pesantren Tak Perlu Dianakemaskan tapi Jangan Dianaktirikan!

Ahad, 15 Oktober 2017 | 10:30 WIB

Pesantren Tak Perlu Dianakemaskan tapi Jangan Dianaktirikan!

Ilustrasi (© Romzi Ahmad)

Jakarta, NU Online
Presiden Joko Widodo secara resmi telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Ketetapan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, yang ditandatanganinya pada 15 Oktober 2015. Hari bersejarah itu kini memasuki tahun ketiga dan selalu diperingati dengan semarak di berbagai daerah.

Tanggal 22 Oktober dipilih lantaran pada momen itulah terbit Resolusi Jihad pada tahun 1945 sebagai seruan membela tanah air dari penjajah yang hendak kembali. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari berfatwa bahwa hukum perang dalam hal ini adalah fardhu ‘ain dan bernilai jihad.

Salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir kehadiran hari santri bisa dimaknai sebagai manifestasi pengakuan yang jujur terhadap péran besar yang dimainkan oleh kaum santri dalam mendirikam Negara Indonesia merdeka dan menjaga keutuhannya.

“Bahkan, sungguh tidak berlebihan bila dikatakan, kelahiran NKRI dibidani oleh para kiai dan santri mereka,” kata katib syuriyah PBNU periode 2010-2015 ini di akun Facebook pribadinya.

Akan tetapi, katanya, anak yang dilahirkan tersebut sampai saat ini belum menunaikan kewajiban birrul walidain (berbakti) terhadap orang tua yang melahirkannya, yakni, kaum santri dan pesantren belum mendapatkan hak sebagai mana mestinya dari negara tèrutama menyangkut politik kebijakan dan anggaran.

“Memang, kaum santri dan pesantren tidak perlu dianakemaskan tetapi tidak boleh dianaktirikan. Cukup diperlakukan dengan adil,” katanya. (Mahbib)


Terkait