Pidato Arahan Lengkap Gus Yahya di Pra-Kongres Pendidikan NU
Ahad, 19 Januari 2025 | 23:00 WIB
Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan pidato arahan dalam Pra-Kongres Pendidikan NU di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Sabtu (18/1/2025) pagi. (Foto: NU Online/Suwitno)
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan pidato arahan dalam Pra-Kongres Pendidikan NU dengan tema Transformasi Digital: Tantangan Pendidikan Karakter untuk Generasi Masa Depan yang digelar di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, pada Sabtu (18/1/2025) pagi.
Berikut adalah pidato arahan lengkap Gus Yahya dalam kesempatan tersebut.
***
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Alhamdulillāh wa syukrulillāh was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillāh wa 'alā ālihi wa ashābihi wa man wālāh. Amma ba’ad.
Yang saya hormati para teman-teman dari jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; ada ketua dan wakil sekjen di sini: Ibu Alissa, Ibu Sidrotun Na’im – saya kira mungkin ada yang lain juga. Yang saya hormati Ketua LP Ma'arif Pak Ali Ramdhani dan teman-teman sejawatnya, termasuk dan terutama Pak Inung ini.
Jadi kalau dibilang sambutanya Ketua LP Ma'arif ini menyentuh hati, saya sebelum sambutan tadi, baru turun dari mobil, lihat dia, langsung tersentuh hati saya. (Hadirin tertawa).
Dulu saya waktu masih sekolah di Jogja, saya suka diledek oleh salah seorang guru saya: Prof Mochtar Mas’oed. Dia bilang: “Kamu ini sebetulnya nasabmu bagus,” katanya. Karena saya ini gus besar: bapak saya kiai, kakek saya kiai, itu kan gus besar. Kalau yang gus kecil-kecil itu, di sini, bangsanya Mahbub Maafi, itu gus kecil-kecilan saja. (Hadirin tertawa). Sama Pak Mochtar Mas’oed saya dibilang: “Nasabmu sudah bagus, lumayan, cuma nasibmu itu, lho,” dia bilang begitu. Maka, memang, kalau dikatakan butuh penghiburan, ini semua orang butuh penghiburan, kayaknya, karena urusan nasib ini.
Bapak-bapak yang saya hormati.
Ini memang inisiatif yang sebetulnya dalam rangkaian peringatan Harlah NU yang ke-102 menurut kalender Hijriyah atau yang ke-99 menurut kalender Masehi. Ini sebetulnya inisiatif besar sekali dengan merangkai kongres pendidikan dan kongres keluarga maslahat, karena ini adalah wujud dari fase ketiga strategi yang dibangun oleh PBNU di dalam mentransformasikan keseluruhan konstruksi organisasi Nahdlatul Ulama ini menuju kepada konstruksi organisasi yang baru yang akan diharapkan lebih mampu memenuhi tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan yang semakin menekan mengenai masa depan.
Dan rangkaian kegiatannya sebetulnya sudah mulai sejak lama. Ini yang sebetulnya saya juga agak kelabakan, karena sudah sejak tanggal 8 Januari yang lalu sudah dimulai. Jadi ini kita bikin kongres, terus masing-masing bikin pra-kongres macam begini ini, dan setiap kegiatan selalu minta saya pidato. Ini sudah pidato yang ke-4 dalam rangkaian harlah NU ini, dan sesudah ini masih pidato lagi, mungkin 5 atau 6 kali lagi – semuanya dalam rangkaian Harlah. Jadi saya juga harus memeras otak ini supaya pidato saya dari satu tempat ke tempat lain tidak mengulang-ulang, ada bedanya.
Pendidikan dan keluarga sebagai tonggak utama
Inisiatif ini memang didesain dalam sistematika dua tonggak besar, yaitu pendidikan dan keluarga. Dua tonggak besar ini adalah tonggak-tonggak utama dari visi yang kita pahami sebagai tujuan para pendiri Nahdlatul Ulama mendirikan organisasi ini, yaitu untuk membangun peradaban.
Membangun peradaban, di dalam praktik upayanya, itu tonggak-tonggak utamanya adalah keluarga dan pendidikan, karena peradaban itu tentang peri-hidup manusia, peri-hidup masyarakat. Dan peri-hidup itu pertama-tama dibangun mulai dari keluarga dan kemudian dikembangkan melalui inisiatif-inisiatif pendidikan. Maka, kita pancangkan dua tonggak ini: keluarga dan pendidikan. Cuma sebetulnya kalau mau lebih sistematis keluarga dulu baru pendidikan. Bahwa kongres pendidikannya sekarang lebih dulu ini soal teknis, sebetulnya, entah soal dulu-duluan dapat sponsor atau apa (hadirin tertawa), saya kira begitu.
Maka, rangkaian kegiatan ini sebetulnya secara konseptual sangat kompleks dan melibatkan elemen-elemen yang luar biasa banyak. Dalam kongres pendidikan nanti itu – dua hari, kalau tidak salah – dimensi-dimensi yang didiskusikan juga sangat luas dan dan sangat beragam, karena memang terkait dengan keberadaan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama yang juga sangat beragam dan banyak sekali: mulai dari pendidikan pra-sekolah raudlatul athfal, kemudian pendidikan dasar dan menengah – semuanya ada dalam di lingkungan NU – mulai dari SD, madrasah ibtidaiyah, SMP, tsanawiyah, SMA, SMK, madrasah aliyah, sampai dengan perguruan tinggi, yang itu jumlahnya puluhan ribu di lingkungan Nahdlatul Ulama, belum lagi ditambah pesantren. Jadi ini semuanya harus kita pikirkan sebagai satu kesatuan konfiguratif dari upaya-upaya Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan.
Tetapi, kemudian, tentu saja, ini adalah masalah kedua dari keseluruhan masalah yang terkait dengan topik, dengan visi mengembangkan peradaban itu. Sebetulnya yang lebih dulu dari masalah pendidikan ini adalah masalah keluarga, karena manusia itu, pertama-tama, lahir di lingkungan keluarga, bersentuhan dengan macam-macam asupan dalam hidupnya itu pertama-tama didapatkan dari keluarga.
PBNU berusaha melakukan sistematisasi, penjabaran dari visi membangun peradaban itu menjadi satu konstruksi agenda-agenda yang koheren satu sama lain. Maka yang dilakukan oleh PBNU sebetulnya adalah, pertama-tama, mengkonsolidasikan inisiatif-inisiatif yang sudah ada itu. Inisiatifnya sudah ada, lembaga-lembaganya sudah ada, banyak sekali; nah, bagaimana ini dikonsolidasikan sehingga semuanya bisa bergerak secara koheren.
Koheren: seperti kita dengan tubuh kita
Koheren itu sudah menjadi mantra di lingkungan NU dalam sekurang-kurangnya tiga tahun terakhir ini, karena saya bolak-balik ngomong koheran-koheren-koheran-koheren saja. Koheren itu artinya setiap elemennya ini tersambung dengan elemen-elemen yang lain sedemikian rupa, sehingga gerak dari semua elemen yang ada ini betul-betul padu menuju ke satu tujuan bersama, seperti kita dengan tubuh kita ini kan koheren. Kita mau jalan dengan baik saja tidak bisa kalau tangan dan kaki kita tidak koheren. Kalau kaki kiri maju, tangan kanan yang maju. Kalau tidak koheren, kaki kiri maju tangan kiri maju – itu jadi lucu. Maka, dalam tiga tahun terakhir ini, dan kita akan teruskan, kita upayakan, kita laksanakan strategi untuk membangun koherensi ini.
Tiga fase konsolidasi
Sekarang ini, saya kira, menjelang masuk tahun keempat. Kita mulai dari awal 2022, 2023, 2024, jadi awal tahun keempat, saat ini. Ini kita sebetulnya masuk ke fase ketiga.
Fase pertamanya adalah konsolidasi konseptual, bahwa semua gagasan-gagasan kita rumuskan dalam konseptualisasi yang jelas; kita ini mau apa? Berbagai macam elemen, berbagai macam sektor di dalam NU ini mau diapakan? Dibawa ke mana? Dan seterusnya.
Konseptualisasi itu memakan waktu sekurang-kurangnya satu tahun, sambil – pada saat yang sama – kita membuat strategi untuk membangkitkan moral dari keseluruhan jajaran NU ini, baik organisasinya maupun jamaahnya. Alhamdulillah tahap itu bisa kita selesaikan, sampai dengan puncak peringatan satu abad hari lahir NU.
Dan kemudian kita susul dengan konsolidasi struktural, ketika semua elemen struktural dari NU ini kita konsolidasikan sedemikian rupa; personel-personelnya kita didik, kita lakukan pelatihan-pelatihan, pelatihan kader dan lain sebagainya, sambil memulai inisiasi dari skema strategi semesta dari Nahdlatul Ulama ini. Kita mulai, misalnya, inisiasi GKMNU pada pertengahan tahun kedua, kira-kira, dan kemudian kita konsolidasikan struktur ini.
Sekarang, alhamdulillah, semua ini sudah mencapai titik optimal. Tentu ini masih dalam ongoing process, semuanya belum selesai dengan sempurna. Tapi alhamdulillah kita sudah masuk sudah sampai pada titik optimal dari upaya konsolidasi itu. Sekarang, misalnya, keseluruhan struktur NU ini – dari PBNU sampai ke ranting – sudah sangat terkonsolidasi sedemikian rupa, sehingga, sekurang-sekurangnya, orang-orang tidak gampang mengganggu. Kalau ada orang mengganggu itu tidak dapat jalan masuk, karena di sini terkonsolidasi sekali strukturnya, alhamdulillah.
Sekarang kita masuk pada fase eksekusi dari strategi komprehensif yang sudah kita siapkan itu, dengan – sekali lagi – dua jalur utama, yaitu jalur pendidikan dan jalur keluarga. Ini pekerjakan besar NU, dan, sebetulnya, dua jalur ini memang adalah jalur yang diinginkan atau yang relevan dengan visi dari para pendiri jam'iyah ini. Jalur-jalur yang lain itu sebetulnya pendukung saja. Maka ketika teman-teman, misalnya, ramai-ramai tentang soal kemandirian ekonomi, gerakan ekonomi, dan lain sebagainya, itu sebetulnya pendukung saja. NU mau dapat konsesi tambang, lalu bikin perusahaan ini-itu-ini-itu, itu pendukung saja, karena NU ini jelas bukan organisasi bisnis. Karena isu tentang ekonomi dan macam-macam ini besar, memang kemudian banyak teman-teman di jajaran NU nanya: gimana ini, gimana supaya cabang ini juga bisa dapat usaha – dan lain sebagainya.
Saya harus ingatkan dengan keras kepada teman-temannya bahwa NU ini bukan organisasi bisnis, ini organisasinya ulama. Kalau ada bisnis yang dikerjakan untuk menghasilkan revenue, semata-mata itu untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan operasi organisasi – itu saja. Kita bukannya mau mengembangkan diri menjadi satu entitas bisnis raksasa, misalnya, habis ini kita jadi konglomerat sendiri, menjadi “naga ke-10,” misalnya begitu, kan tidak. Kita tidak boleh terdistraksi orientasi kita ke sana, itu pendukung-pendukung saja yang bisa kita lakukan sambil jalan. Kalau kita bisa lakukan, misalnya, kita tidak lagi bergantung kepada donasi, tidak lagi bergantung kepada belas kasihan orang, katakanlah begitu, tapi kita biayai sendiri kalau bisa berhasil. Tapi yang utama dari haluan Nahdlatul Ulama ini sebetulnya adalah tentang keluarga dan pendidikan. Itu jalur utama dari haluan NU ini.
Agenda membangun peradaban
Nah, di dalam memikirkan dua agenda besar ini, yang pertama-tama, adalah bahwa ini adalah agenda peradaban, karena kita hidup ini untuk apa? Manusia hidup ini untuk apa? Untuk berperadaban. Allah subhanahu wa ta’ala itu senantiasa menurunkan bantuan-bantuan dan dukungan-dukungan kepada umat manusia untuk kemaslahatan hidup umat manusia. Dan dukungan yang paling kelihatan dan paling besar yang diturunkan Allah kepada manusia itu apa?
Diutusnya nabi-nabi, rasul-rasul, untuk membawa agama. Kenapa? Allah kan tidak menurukan rasul untuk gerakan ekonomi, misalnya, kan tidak. Tidak ada rasul yang misinya untuk kampanye militer, misalnya, tidak ada. Rasul-rasul diutus untuk membawa agama; agama yang menghubungkan umat manusia ini dengan Tuhan dan memberi pencerahan kepada umat manusia tentang bagaimana kehidupan di antara mereka, di antara manusia itu, mestinya dikelola dengan nilai-nilai, dengan norma-norma, dan lain sebagainya. Jadi, rasul-rasul diutus membawa agama kepada manusia itu untuk membangun peradaban.
Kalau ini kita jabarkan dalam kerangka yang lebih teknis, peradaban itu sebetulnya adalah keseluruhan peri-hidup manusia di dalam kehidupan bersama mereka, keseluruhan peri-hidup masyarakat, dan itu berarti di samping hal-hal yang merupakan aspek struktural dari kehidupan bersama itu, pertama-tama, harus di-address juga aspek-aspek yang sifatnya lebih individual, yaitu tentang kualitas manusia-manusianya. Maka Nahdlatul Ulama memahami ini sebagai misi kehadirannya sendiri, bahwa Nahdlatul Ulama – karena ini organisasinya ulama, harus diingat ini, teman-teman NU semua ini, ini organisasinya ulama, ini bukan organisasinya tukang kredit, bukan organisasinya pedagang cendol dan lain sebagainya, ini organisasinya ulama. Ini bukan sekadar organisasinya guru-guru kecil-kecilan begini ini, organisasinya ulama ini. Ini harus kita pegang. Maka semua yang dilakukan oleh NU ini – harus dalam kerangka makna kehadiran ulama itu sendiri, dan itu, sekali lagi, adalah soal membangun peradaban.
Membangun startegi mengintervensi realitas
Untuk membuat lebih singkat, Bapak Ibu sekalian, yang dibutuhkan selanjutnya adalah bagaimana NU mampu membangun dan mengeksekusi strategi yang relevan dan efektif di dalam mewujudkan apa yang menjadi visi itu. Nah, dalam membangun strategi ini ada beberapa hal mendasar yang segera harus diingatkan lagi teman-teman ini. Saya melihat bahwa sudah sekian lama teman-teman di NU ini pokoknya bergerak secara impulsif saja; ada terpaan sensasi apa, lalu merespons secara impulsif (bertindak tanpa pertimbangan yang matang) tanpa dengan sabar memikirkan keseluruhan masalahnya secara komprehensif, sehingga hasil dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan juga sangat inkremental (peningkatan atau perubahan secara bertahap), bahkan kemudian tercecer-cecer di sana-sini, dan tidak bisa menjadi satu, menjadi keseluruhan strategi bersama yang sungguh-sungguh mampu meng-intervensi realitas. Ini sayang kalau di terus-teruskan begini, karena NU ini punya sumber daya yang luar biasa besar. Ini yang harus ditata kembali sedemikian rupa, sehingga sumber daya NU yang besar sekali ini bisa dikonsolidasikan untuk menjalankan strategi yang koheren, yang komprehensif, sehingga realitas ini bisa kita intervensi, supaya lebih mengarah ke satu arah yang buat kita lebih baik.
Kalau tidak, nanti yang muncul keluhan-keluhan saja. Ada keluhan guru, keluhan orang tua murid, keluhan ini – keluhan ini, kita tidak tahu apa yang dilakukan. Keluhan tentang masalah-masalah di pesantren, keluhan tentang masalah-masalah di Kementerian Agama, misalnya, belum-belum sudah mengeluh semua ini. Keluhan-keluhan saja, karena tidak ada kesabaran untuk memikirkan keseluruhan konstelasi masalah itu secara komprehensif.
Transformasi digital dan pendidikan karakter
Nah, gagasan untuk membicarakan tentang transformasi digital, ini menurut saya memang penting sekali, asalkan ini dilakukan dalam kerangka strategi yang komprehensif dan koheren itu. Kalau ini cuma gagasan lepas yang tidak terhubung dengan masalah-masalah yang lain, ini jadi masalah lagi nanti; bukan jadi solusi, malah bisa jadi masalah lagi.
Kenapa soal digital ini penting? Karena ini memang realitas revolusioner yang mencekam semua orang. Semua orang berpikir: bagaimana digital? Termasuk NU sendiri sekarang sedang mengembangkan transformasi manajemen organisasi menuju manajemen digital. Sekarang ini, kalau kaitkan dengan pendidikan, apalagi dengan pendidikan karakter, bagaimana ini, soal transformasi digital ini?
Saya kira, yang pertama-tama harus kita ingat adalah hal-hal mendasar mengenai pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pendidikan karakter. Kalau bicara tentang pendidikan karakter, itu yang pertama-tama harus diingat dan harus diperjelas itu kan karakter macam mana yang kita inginkan? Karakter itu karakter macam mana? Ini yang pertama. Jadi, tujuan dari pendidikan karakter itu apa? Ini harus jelas dulu. Tadi disebutkan, misalnya, ada soal adab yang lebih utama dari ilmu. Itu harus dijabarkan lebih operasional, adab yang seperti apa? Ini pertama.
Yang kedua, kita harus mengidentifikasi siapa saja penyaham dari masalah ini, stakeholder dari masalah ini, yang harus dilibatkan di dalam masalah ini? Karena kalau kita bicara soal karakter, tidak mungkin kita hanya membiarkan atau menyerahkan semata-mata sebagai urusan sekolah saja, karena karakter itu dibentuk tidak cukup hanya di sekolah. Kita tahu ada ungkapan thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi, mencari ilmu itu dari buaian sampai ke liang lahat. Berarti mulai dari keluarga, lagi-lagi.
Bahkan kalau dalam wawasan Islam, karakter itu dibentuk sejak sebelum kegiatan “membikin anak” itu sendiri, karena karakter ini punya dimensi genetik juga. Watak itu punya genetik. Dan di dalam Islam ini lalu soal apa yang makan oleh orang tuanya, bagaimana kelakuan orang tuanya, bagaimana kondisi jiwa dari orang tuanya, dan seterusnya. Terus bagaimana caranya “bikin anak” itu tadi, terkait semua. Dan apa yang dilakukan orang tuanya selama anak di dalam kandungan? Dan lain sebagainya.
Maka tempo hari, dalam acara GKMNU di Makassar, saya katakan bahwa peradaban itu dimulai dari kegiatan reproduksi, karena tidak mungkin ada peradaban tanpa reproduksi. Kalau tidak ada reproduksi kan kita mati, tidak ada lagi orang, kan tidak ada peradaban, jadinya. Dimulai dari reproduksi. Maka orang harus berpikir tentang peradaban sejak reproduksi.
Konstruksi peradaban itu dimulai dari konstruksi tentang reproduksi. Kalau kita menginginkan peradaban yang mulia, kita harus berpikir tentang moda reproduksi yang mulia, bahwa kegiatan reproduksi manusia itu adalah kegiatan yang mulia, dan di dalamnya ada tanggung jawab.
Saya sitir satu sabda Rasulullah saw ketika mengatakan terkait dengan perjodohan. Kata Rasulullah: ”…Akhadztumūhunna bi amānatillāh wastahlaltum furūjahunna bikalimatillāh…”. Engkau mengambil istri itu dengan amanat dari Tuhan. Ini bukan soal “saya ambil,” begitu saja, tapi ini amanat dari Tuhan, bahwa mengambil istri itu adalah amanat dari Tuhan. Di dalam perhelatan-perhelatan pernikahan atau walimah, kondangan pengantin itu, kiai-kiai itu sering mengatakan bahwa kalau orang membuat akad nikah itu, itu pihaknya bukan cuma antara pengantin dan wali, tapi ada pihak ketiga, yaitu Tuhan, karena mengambil istri itu berarti mengambil amanat atau menerima amanat dari Tuhan. Wastahlaltum furūjahunna bikalimatillāh, dan kalian boleh melakukan kegiatan reproduksi, setelah pernikahan itu, itu harus dengan pengesahan menggunakan kata-kata, kalimah, yang dipilih oleh Tuhan sendiri, bikalimatillah, wastahlaltum furūjahunna bikalimatillāh. Pakai kata-kata yang ditentukan oleh Tuhan sendiri. Di dalam Islam itu, kata-kata itu adalah pernikahan atau perkawinan, nikah atau zawaj – bahasa Arabnya. Makanya setiap akad nikah itu harus pakai begitu: aku nikahkan kamu dan kawinkan kamu. Harus pakai bahasa itu. Tidak boleh pakai kata yang lain, misalnya, aku pasrahkan anakku kepadamu. Itu tidak sah, tidak boleh, walaupun sama-sama diserahkan, tapi harus pakai kata nikah dan kawin, tidak boleh pakai kata yang lain. Itu artinya bikalimatillāh. Ini untuk menegaskan bahwa semua konstruksi keluarga itu sebetulnya harus dilihat sebagai konstruksi peribadatan kepada Tuhan, konstruksi penghambaan kepada Tuhan. Supaya apa? Hasilnya, yaitu produk reproduksinya itu, itu juga jadi mulia, bukan sembarangan.
Maka kita menolak dan kita secara deliberate, secara sengaja, harus melawan arus budaya yang melihat kegiatan reproduksi itu semata-mata sebagai sebagai rekreasi, karena kalau hanya dilihat sebagai rekreasi, apalagi memperturutkan impuls hewani, hasilnya hewannya juga nanti, produk dari kegiatan itu akan cenderung juga hewani.
Nah, ini hal-hal yang penting sekali diperhatikan. Stakeholdernya itu siapa saja, penyahamnya? Bukan cuma guru-guru, bukan cuma manajemen sekolah, bukan cuma kurikulum dan lain sebagainya, tetapi juga keluarga.
Yang ketiga, saya kira, penting kita untuk memperjelas apa persepsi kita tentang digital ini. Digital ini apa?
Dalam percakapan publik yang selama ini saya ikuti, sejauh yang saya ikuti, tidak seluruhnya, karena saya juga tidak sepenuhnya bisa secara khusus bergelut di dalam bidang ini – ada Pak Ali dan kawan-kawan yang sudah saya order untuk mengurusi soal ini. Di dalam percakapan publik, sejauh yang saya ikuti, orang cenderung melihat fenomena digital ini sebagai ancaman: “Bagaimana ini, di medsos kok ada anak-anak?”.
Kemarin itu ada usulan bahtsul masail tentang hukumnya membuat pembatasan umur bagi anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan medsos, misalnya begitu. Saya kira karena medsos dianggap sebagai ancaman terhadap anak-anak, dan lain sebagainya. Ada keprihatinan tentang game. Game ini bagian dari digital itu, kan? Anak-anak kecanduan game, dan lain sebagainya. Lebih banyak orang melihat fenomena atau realitas digital ini sebagai ancaman: “Bagaimana ini, bagaimana ini?”.
Saya kira, kita harus lebih jernih melihat ini. Realitas digital itu adalah realitas hidup kita. Kita itu hari ini, saya kira, kita tidak bisa menghindari bersentuhan dengan realitas digital itu sebagaimana siapa pun tidak bisa menghindar untuk tidak bertemu dengan orang lain di jalan-jalan dan di pasar-pasar.
Sebetulnya kan kalau kita lepas anak-anak kita ke jalanan – ini orang tua-orang tua yang mempercayakan anaknya pergi ke sekolah sendiri, naik kendaraan umum, dan lain sebagainya – kan sama saja: di jalanan itu ada apa saja, ada bahaya, ada macam-macam. Memang ada fasilitas-fasilitas, tapi jelas ada bahaya-bahaya, ada ancaman-ancaman, ada kekhawatiran-kekhawatiran. Tapi kita tidak bisa menghindar, kita harus lepaskan anak-anak ke dalam arena realitas itu. Saya kira sama dengan realitas digital hari ini.
Persoalannya kemudian apa yang harus kita lakukan untuk menjaga supaya di dalam realitas itu anak kita lebih terlindung dari bahaya-bahayanya? Dan lebih jauh lagi, anak-anak kita mendapatkan benefit, keuntungan dari realitas yang ada itu.
Ini sama seperti, misalnya, ketika kita lepas anak kita, tidak kita antar sendiri ke sekolah, kita lepas naik kendaraan umum sendiri. Ini kan sebetulnya, di satu sisi, juga mendidik anak untuk mandiri.
Saya dulu itu tinggal di pesantren. Rumah saya di Rembang, Jawa Tengah, dan saya dilepas di pesantren di Jogja. Itu tahun 1979 saya mulai, sejak kelas 2 SMP. Dan pada waktu itu kalau mau pergi dari Rembang ke Jogja, atau sebaliknya, itu harus naik turun bis umum yang memakan waktu kira-kira antara 7 sampai 8 jam perjalanan. Orang tua saya itu berani melepas saya untuk mondok di Jogja. Dan kalau liburan saya gunakan kesempatan untuk pulang ke Rembang, dan saya dibiarkan naik bis umum sendiri sejak SMP – dari Jogja ke Rembang dan sebaliknya itu. Ya pasti ada kekhawatiran, ada ancaman macam-macam, tapi ada juga benefit, bahwa saya lalu jadi lebih berani nekat, seperti sekarang ini kan ada kecenderungan nekat juga, karena seperti itu.
Saya kira, hal sama dengan digital ini, ada benefit, ada ancaman. Nah, bagaimana supaya anak-anak kita mendapatkan benefitnya dan lebih terlindungi dari ancaman?
Digital itu masalahnya – memang kita punya keluhan macam-macam – soal kecanduan game, misalnya. Tapi di dalam main game itu kan ada benefit.
Saya pernah baca, di mana gitu ya, bahwa kebiasaan main game bagi anak-anak itu, itu melatih mereka untuk melakukan analisis realitas dengan cepat dan melakukan respons dengan cepat dan akurat juga, karena harus (Gus Yahya menggambarkan anak main game dengan kedua tangannya). Game itu kan kayak gitu. Itu sebetulnya melatih itu. Dan saya melihat itu benar, ketika saya lihat anak-anak saya. Anak-anak saya itu bisa mencerna realitas dengan relatif cepat dan membuat respons lebih cepat dan lebih akurat mengenai banyak hal. Ada benefit di situ.
Nah, soalnya bagaimana kita mengupayakan supaya anak-anak bisa mendapatkan benefitnya dan terlindung dari bahaya-bahayanya?
Terkait dengan itu, Bapak Ibu sekalian, ada tuntunan yang sangat mendasar, sebetulnya. Ini satu hal yang bolak-balik sebetulnya diulang-ulang oleh Ketua Umum PBNU sebelum saya: Prof Dr KH Said Aqil Siradj, yaitu bahwa dalam semua masalah di dunia ini kita harus hadir. Kita harus hadir. Kita ini, di dalam Islam, umat Islam ini, dituntut untuk menjadi saksi atas manusia, syuhada’a ‘lan naas. Bahasanya itu syuhada’. Syuhada’ itu makna letterlijk-nya adalah menjadi saksi.
Menjadi saksi itu artinya hadir, – dan hadir itu terlibat di dalam pergulatan itu. Maka, tidak cukup kalau kita hanya membatasi engagement anak dengan plaform- platform digital itu, karena platform digital itu sebetulnya realitas saja. Kalau cara berpikir kita terus membatasi anak-anak terlibat di dalam platform digital, itu sama saja dengan kita membatasi anak keluar rumah; kita membatasi jarak, misalnya, “kamu hanya boleh keluar rumah 100 meter, enggak boleh sampai 1km.” Itu kan sama dengan begitu, karena itu realitas yang isinya bisa macam-macam. Di depan rumah kita itu ada banyak hal: ada yang baik, ada yang enggak baik. Banyak sekali. Itu realitas kehidupan saja.
Nah, bagaimana kita sekarang melihat ini sebagai realitas, kemudian menyupayakan strategi, supaya anak-anak kita mendapat benefit-nya, tapi kita terlindung dari ancaman-ancaman bahayanya. Itu berarti harus hadir.
Maka, misalnya – ini misalnya – kalau kita merasa prihatin dengan game-game online atau game yang lain, – pokoknya game digital itu – kenapa tidak berpikir untuk meng-create game yang memang didesain untuk membangun karakter anak?
Kalau orang bisa membuat game untuk rekreasi, untuk excitement (kegembiraan), masa enggak bisa sih dibuat game dengan desain untuk tujuan pembelajaran tertentu? Saya kira pasti bisa. Nah, siapa yang punya kemampuan untuk itu dan siapa yang mau?
Saya kira, LP Ma’arif, misalnya, akan berguna sekali kalau juga melakukan upaya-upaya menggalang kalangan – bukan cuma gamers, tapi – desainer game ini, kreator game ini untuk itu.
Sekarang kalau, misalnya, banyak konten-konten medsos, tiktok, dan lain sebagainya yang kita anggap berbahaya, misalnya, atau negatif, kenapa tidak yang meng-create konten-konten di platform yang sama yang bisa menjadi benefit dalam konteks pendidikan karakter ini.
Ini adalah hal-hal yang, saya kira bisa kita kembangkan ke depan.
Nahdlatul Ulama itu sejak awal sadar bahwa tidak mungkin berjalan sendirian di dalam memperjuangkan cita-cita dan visinya itu, karena cita-cita NU itu sebetulnya ya cita-cita masyarakat seluruhnya.
Kalau saya ditanya tentang apa visi NU tentang Indonesia? Ya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu visinya, memang. Dan visi itu sudah dikembangkan sejak sebelum Proklamasi. Memang orang NU itu berpikir, sejak awal, para pendiri NU itu, ketika berpikir negara, tentang Indonesia, berpikirnya seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang Dasar 1945 itu, misalnya, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa; bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan; bahwa kalau kita punya negara maka kita harus mengupayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi. Ini semua. Jadi yang dipikirkan ini sebetulnya adalah cita-cita masyarakat bersama. Maka, jelas menjadi kepentingan sangat mendasar bagi NU untuk menyambungkan diri dan bekerja sama dengan semua pihak yang memiliki kepentingan yang sama.
Makanya saya senang sekali bahwa hari ini kita juga berkumpul bersama partner-partner LP Ma'arif, karena concern-concern yang kita pikirkan ini sebetulnya concern kita bersama, bukan cuma concern NU saja. Bahkan bukan bukan cuma concern Indonesia saja, ini adalah concern umat manusia seluruhnya, karena – sekali lagi – pada dasarnya yang kita hadapi adalah masalah peradaban.
Barakah itu didapat dari ikhlas
Ada satu hal yang, saya kira, paling tidak, khususnya untuk lingkungan Nahdlatul Ulama ini, merupakan inti dari semua perjuangan yang dilakukan, yaitu bahwa kita ini, NU ini, melihat kehadiran kita di dunia ini dengan satu cara pandang sedemikian rupa yang menempatkan di dalam inti pergulatan kita ini, apa yang kita sebut sebagai barakah. Segala sesuatu itu, inti dari pergulatan kita ini adalah barakah.
Di dalam NU ini ada keyakinan bahwa walaupun kemampuan kita terbatas, walaupun kapasitas kita secara rasional mungkin belum mencukupi, tapi kalau barakah itu hasilnya akan mencukupi. Kira-kira begitu. Karena barakah itu makna aslinya adalah annumu waz ziyadah; annumu itu tumbuh, ziyadah itu tambah. Jadi, satu upaya, satu inisiatif yang barakah itu inisiatif yang bisa tumbuh, kecil tapi lalu tumbuh saja dia, dan bertambah dengan sendirinya, kalau itu barakah.
Nah, barakah itu didapat dari mana? Barakah itu didapat dari ikhlas.
Syekh Muhammad Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengatakan: “Al-a’māl shuwarun qāimah wa arwāchuha wujūdu sirril ikhlāshi fīha. Amal, perbuatan, itu sebetulnya baru postur yang mati, sebetulnya, seperti wadak yang mati. Wadak ini kalau mati tidak bisa menghasilkan apa-apa. Supaya dia bisa menghasilkan apa-apa, dia harus bisa bergerak dan harus hidup. Untuk hidup itu perlu nyawa, perlu rūh. Kalau kita punya rūh, punya nyawa, kita hidup, kita bisa bergerak, bisa bikin macam-macam, bisa menghasilkan macam-macam. Begitu juga amal; perbuatan itu ada perbuatan yang mati, ada perbuatan yang hidup. Kalau perbuatan itu mati, ya selesai dilakukan, selesai begitu saja – tidak ada hasil apa pun. Tapi kalau perbuatan itu hidup, sesudah selesai dilakukan, itu masih hidup saja, dampaknya itu hidup terus, yaitu tumbuh dan bertambah tadi. Itu yang namanya barakah. Maka dikatakan: perbuatan atau amal itu adalah – bleger, kalau orang Jawa bilang – wadak yang mati, dan nyawa-nyawanya adalah wujud rahasia ikhlas di dalamnya. Kalau ikhlas beneran, itu jadi barakah.
Tapi ikhlas itu juga tidak gampang, karena ikhlas itu artinya melakukan perbuatan semata-mata demi Tuhan, demi ridla Tuhan – semata-mata. Itu yang susah, karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu karena Tuhan kalau dia belum kenal sama Tuhan – harus kenal dulu. Kenal Tuhan itu juga tidak gampang. Untungnya di dalam tradisi keagamaan – khususnya di lingkungan ini – ada tradisi wasilah. Jadi, kalau tidak bisa langsung, bisa lewat wasilah. Wasilah itu perantara.
Saya ini kalau berdoa sendiri itu mungkin akan diabaikan Tuhan: “Ah, ini orang enggak mutu,” kata-Nya. Tapi kalau saya minta tolong kepada orang shaleh, orang yang mulia, untuk melakukan saya, itu mungkin lebih didengar oleh Tuhan – kira-kira begitu logikannya.
Begitu juga dengan ikhlas. Kalau ikhlas untuk Tuhan, mungkin susah, bagaimana, kita belum sungguh-sungguh mengenal Tuhan. Tapi ada orang-orang shaleh yang sungguh-sungguh kita kenal. Saya kenal dengan guru-guru saya, kiai-kiai saya. Dan guru-guru saya, kiai-kiai saya memerintahkan saya untuk berkhidmat di dalam Nahdlatul Ulama ini. Maka saya melakukan ini semua sungguh-sungguh karena saya taat, hormat, memuliakan perintah dari guru-guru, kiai-kiai saya – itu saja. Nanti kiai-kiai saya yang sambung ke kiai-kiainya, dan seterusnya, guru-gurunya, sampai kepada Rasulullah Muhammad saw yang menjamin sambungnya keikhlasan itu kepada Allah subhanahu wa ta'ala – dari situ kita bisa mengharapkan barakah.
Maka demikian juga dalam semua yang kita lakukan ini – ini yang kemarin saya sampaikan di Surabaya – kita tidak berpikir bahwa ini inisiatif kita, dan inisiatif kita ini akan barakah semata-mata dari inisiatif itu sendiri. Tidak seperti itu. Inisiatif kita ini harus kita lihat sebagai bagian dari barakahnya para pendiri jam’iyah.
Sehingga kalau di dalam inisiatif kita ini ada manfaat, ada barakah, itu adalah barakahnya pendiri. Bukan barakahnya Inung sama Ali Ramdhani ini, bukan (hadirin tertawa). Ini yang akan menjamin ini semuanya berketerusan. Ini yang namanya silsilah barakah. Dengan cara pandang seperti ini, saya kira, pertama, secara mental jelas kita akan jadi lebih ringan. Walaupun nasib kelihatannya sepertinya tidak terlalu bagus, itu ringan hati kita.
Ini soalnya soal barakah. Sampean kan tidak tahu, di mana tempat yang lebih berguna buat kita, di mana yang kurang berguna, kita tidak tahu. Mana yang lebih selamat, mana yang tidak, kita tidak tahu.Tapi kalau semuanya ini kita hayati dengan cara pandang barakah, semuanya jadi lebih enak.
Saya kasih contoh. Saya sampai hari ini, saya ada pesantren, di Rembang sana, yang murni tradisional. Saya tidak mau menyelenggarakan pendidikan formal, misalnya, sekolah dan lain-lain. Hanya mengaji saja, dan saya biarkan anak-anak ini bersekolah di luar pesantren. Di pesantren saya buat madrasah, tapi madrasah diniyah saja.
Kiai saya Kiai Maimoen Zubair mempertanyakan: Kenapa kok tidak bikin sekolah? Apa anti sekolah apa gimana? Saya membuat penjelasan: Bukan soal anti sekolah. Saya itu tidak membuka sekolah formal karena malas mencari gaji gurunya, saya bilang (hadirin tertawa). Karena kenapa? Tidak ada orang disuruh mengajar matematika, fisika, biologi, enggak digaji mau, itu enggak ada. Sehingga kalau saya membuka sekolahan dengan kurikulum itu, repot saya mikir nyari gajinya.
Tapi saya bikin madrasah dengan kurikulum tradisional yang belajar mulai Safinah, Taqrib, sampai Fatkhal Mu’in, I’anah, dan lain sebagainya; belajar Nahwu, mulai dari Jurumiyah, Alfiyah, dan seterusnya. Saya bilang: Kalau nyari guru Fatkhal Mu’in yang mau mengajar gratis, gampang saya, banyak. Nyari guru Alfiyah gratis, banyak yang mau.
Jadi saya konsolidasikan alumni-alumni pesantren kami sejak zaman kakek saya itu, bukan hanya yang tinggal sekota dengan pesantren, tapi juga di tempat-tempat yang terdekat, untuk ikut mengajar di madrasah – dan mereka mau. Walaupun, apalagi digaji, transportnya saja tidak saya ganti. Tapi mereka mau disiplin datang di setiap jadwal mengajar, hanya dengan ditakut-takuti kualat (hadirin tertawa): “Kalau ndak mau ngajar, kuwalat nanti.” (hadirin tertawa).
Itu artinya apa? Ini artinya guru-guru ini, teman-teman yang ikut mengajar ini, dia ikhlas kepada gurunya, kan? Karena takut kuwalat kepada gurunya. Tapi gurunya ini adalah orang yang tersambung dengan sanad silsilah sedemikian rupa, sehingga kita punya roja’, punya harapan besar bahwa ini akan menyambungkan ikhlas kepada Allah Swt.
Saya kira, penting kita sebagai aktivis-aktivis NU ini untuk berpikir dengan cara seperti itu. Itu modal yang mendasar sekali di lingkungan NU ini.
Maka, Pak Ali Ramdhani, Pak Inung, janganlah bersedih, karena kita ini hidup dengan barakah; di dalam keadaan apa pun tidak ada yang kita harapkan selain barakah dari Allah subhanahu wa ta'ala – termasuk inisiatif-inisiatif ini, mudah-mudahan, inisiatif yang kita lakukan ini masih dalam sambungan dan naungan dari barakahnya muassis jam'iyyah Nahdlatul Ulama. Amin.
Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.