PMA Pencegahan Kekerasan Seksual Dinilai sebagai Ikhtiar Terstruktur dari Kemenag
Ahad, 16 Oktober 2022 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Menanggapi maraknya terjadinya kekerasan seksual dilembaga pendidikan Islam, Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Terbitnya keputusan tersebut disambut baik oleh berbagai pihak, salah satunya pemerhati anak, Santi Andriyani yang mengaku sedikit lega atas perhatian yang diberikan Kemenag.
"PMA ini adalah bagian dari ikhtiar secara terstruktur dalam pencegahan kekerasan seksual yang akhir-akhir ini sedang marak di dunia pendidikan khususnya di bawah naungan Kemenag," tuturnya kepada NU Online, Sabtu (15/10/2022).
Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara itu menuturkan bahwa PMA itu sudah banyak ditunggu oleh banyak kalangan terutama Lembaga yang berada di bawah Kemenag. Ini adalah salah satu upaya untuk menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual di madrasah-madrasah.
"PMA ini sangat penting karena menjadi payung hukum yang kuat berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan di bawah Kemenag termasuk juga pesantren. Di dalamnya sudah mencakup 7 Bab dan 20 Pasal mulai dari ketentuan umum, bentuk, pencegahan, penanganan, pelaporan, dan sanksi," terangnya.
Santi berharap dengan adanya panduan PMA tersebut tidak hanya sebagai menara gading yang tidak mampu dijangkau dan tidak implemantatif. Karena itu perlu adanya sosialisasi yang masif kepada seluruh lembaga di bawah naungan Kemenag.
"Karena ini termasuk bagian dari preventif, kuratif dan penindakan untuk para pelaku kekerasan seksual," pungkasnya.
Cara Mencegah Kekerasan Seksual
Pada Bab III Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, disebutkan bahwa satuan pendidikan wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Pencegahan melalui sosialisasi dilakukan dengan penyampaian informasi, kampanye, dan bentuk lainnya terkait kekerasan seksual. Sedangkan pencegahan melalui kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pembuatan modul, buku dan literatur lainnya, serta penyelenggaraan pelatihan, halaqah, kajian, dan sejenisnya.
Pencegahan melalui kegiatan penguatan tata Kelola meliputi penyusunan standar prosedur operasional pencegahan kekerasan seksual, penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan, serta kerja sama dengan instansi terkait. Kemudian pencegahan melalui penguatan budaya dilakukan dalam bentuk pengenalan lingkungan, peduli pencegahan kekerasan seksual dan pengembangan jejaring komunikasi.
Dalam melaksanakan pencegahan kekerasan seksual seperti yang sudah dijelaskan di atas, satuan pendidikan dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lainnya, masyarakat, atau orang tua dan keluarga peserta didik.
Satuan pendidikan wajib melakukan penanganan kekerasan seksual. Penanganan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan cara melaporkan, melindungi, mendampingi, menindak dan melakukan pemulihan pada korban.
Pelapor dapat menyampaikan laporan terjadinya kekerasan seksual kepada pimpinan secara lisan atau tulisan, langsung atau tidak langsung yang dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan. Pelapor dapat menyampaikan laporan terjadinya kekerasan seksual kepada penyelenggara satuan pendidikan, dewan masyayikh, kepala kantor kementerian agama, kepala kantor wilayah, kepala pusat, direktur jenderal, sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pimpinan satuan pendidikan perlu memberikan perlindungan terhadap korban, saksi, pelapor dan anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku. Perlindungan ini diberikan sepanjang pihak-pihak tersebut berasal dari satuan pendidikan. Selain itu perlu juga diberikan pendampingan berupa konseling, layanan Kesehatan, bantuan hukum dan layanan rehabilitasi.
Penindakan juga perlu diberikan oleh satuan pendidikan dengan cara membebaskan sementara dari tugas dan jabatannya, serta membebaskan sementara dari layanan pendidikannya. Satuan pendidikan juga perlu memberikan pemulihan kepada korban kekerasan seksual terhadap aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial korban.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Kendi Setiawan