Polemik Tuduhan Hoaks soal KUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Fokus pada Substansi
Kamis, 20 November 2025 | 13:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengklaim bahwa sebuah poster tentang RUU KUHAP yang disusun oleh Bijak Memantau dan Indonesian Matters yang beredar di media sosial sebagai hoaks.
Pernyataan itu disampaikan Habiburokhman sesaat sebelum RUU KUHAP disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara II, Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyesalkan tuduhan tersebut.
Ia menilai pelabelan hoaks yang disampaikan Habiburokhman justru mengaburkan kritik publik terhadap revisi KUHAP yang baru disahkan.
Isnur menegaskan bahwa poster yang dibuat oleh Bijak Memantau dan Indonesian Matters bukanlah hoaks, melainkan hasil pembacaan kritis terhadap draf RUU KUHAP.
Menurutnya, tuduhan tersebut justru menjauhkan DPR dari pembahasan substansial. Karena itu, ia meminta DPR agar fokus pada substansi masalah yang ada pada KUHAP.
"Koalisi sedari awal menyampaikan perubahan KUHAP harus fundamental, harus menyentuh akar masalah peradilan pidana, namun justru menyuburkan praktik-praktik koruptif dan melanggengkan ketiadaan judicial scrutiny (proses pengawasan) yang substansial untuk seluruh upaya paksa yang merenggut HAM warga negara," katanya dalam keterangan yang diterima NU Online, Kamis (20/11/2025).
Ia menambahkan bahwa Koalisi selalu menempatkan rekomendasi pada harapan tertinggi agar revisi KUHAP benar-benar selaras dengan perspektif HAM.
"Karena butuh 44 tahun merevisi KUHAP, maka sangat amat mengecewakan jika revisi KUHAP tidak dilakukan dengan komprehensif," jelasnya.
Terkait aturan penyadapan tanpa batas dalam Pasal 136 ayat (2), Isnur menjelaskan bahwa KUHAP baru membuka ruang penyadapan untuk semua tindak pidana tanpa pembatasan dan tanpa mekanisme pengamanan (safeguards) yang memadai.
Meski DPR menyebut teknis penyadapan akan diatur dalam undang-undang terpisah (UU Penyadapan), KUHAP baru tetap memberikan kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan sebelum undang-undang tersebut hadir.
"Tidak ada sama sekali pasal dalam RUU KUHAP yang berusaha menjelaskan bahwa sebelum adanya UU tentang Penyadapan maka ketentuan penyadapan dalam RUU KUHAP tidak dapat dilaksanakan," jelasnya.
Adapun terkait pemblokiran tanpa izin hakim (Pasal 140 ayat (2)), Isnur menilai adanya pengecualian yang sangat longgar, termasuk alasan “situasi berdasarkan penilaian penyidik.” Menurutnya, frasa tersebut bersifat subjektif dan rawan disalahgunakan karena tidak berada di bawah pengawasan pengadilan.
"Namun perlu ditegaskan bahwa izin hakim tersebut dapat dikecualikan dan pengecualian tersebut bersifat sangat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif," katanya.
Isnur juga menyoroti Pasal 44 tentang penyitaan dalam kondisi mendesak. Ia menegaskan bahwa tanpa standar objektif yang jelas, tindakan penyitaan berpotensi menjadi sewenang-wenang. Selain itu, pemeriksaan hakim setelah tindakan dilakukan dikhawatirkan hanya menjadi formalitas administratif.
"Ini malah semacam mencoba untuk membenarkan praktik-praktik mekanisme kontrol yang saat ini terbukti tidak efektif untuk mencegah penyalahgunaan dan pelanggaran HAM warga negara," katanya.
Lebih jauh, pada Pasal 93, 99, dan 100 tentang penangkapan dan penahanan, Isnur menyebut bahwa meskipun DPR mengklaim syarat penahanan dibuat lebih objektif, aturan baru tersebut tetap mempertahankan model lama. Kewenangan merampas kemerdekaan seseorang masih berada di tangan penyidik, bukan pengadilan.
"Catatan yang paling besar yakni terkait dengan fakta bahwa jarang ditemukan di negara demokratis manapun, kewenangan untuk merampas kemerdekaan seseorang datang dari otoritas selain pengadilan (judicial scrutiny)," jelasnya.
"Indonesia harusnya sudah mulai mengarah pada perkembangan ini khususnya untuk perubahan KUHAP yang baru dilakukan setelah berlaku 40 tahun lebih," terangnya.