Prof Quraish Shihab Jelaskan Makna Puasa dari Bahasa Sansekerta
Selasa, 19 April 2022 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Istilah puasa begitu lekat dengan bahasa Arab, shaum atau as-shiyam yang berarti menahan lapar, dahaga, dan lain sebagainya. Bukan hanya bahasa Arab, kata puasa juga berasal dari beberapa bahasa, salah satunya Sansekerta.
Baca Juga
Hakikat Makna Puasa Menurut Imam Ghazali
Pakar Ilmu Al-Qur’an Profesor Muhammad Qoraish Shihab dalam tayangan Memahami Puasa menjelaskan, bahasa Sansekerta memiliki pemaknaan tersendiri untuk puasa, yakni upawasa.
"Puasa ini juga diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti upawasa lalu dipersingkat menjadi puasa," ucap Prof Quraish dikutip NU Online, Selasa (19/4/22).
Bahkan, kata dia, dari segi pemaknaan pun kata upawasa hampir mirip dengan kata shaum atau as-shiyam yakni sama-sama menahan hal-hal yang disukai, misalnya makan, minum, maupun berhubungan suami-istri.
Baca Juga
Menguak Makna Puasa-Puasa dalam Islam
"Dalam beberapa kamus diartikan menjadi puasa; menjauhi yang paling dekat dan paling disukai, artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang disukai, seperti makan, minum, dan lainnya," terang pendiri Pusat Studi Al Qur’an (PSQ) itu.
Hanya saja, dalam tinjauan kebahasaan kata tersebut seringkali tidak menggambarkan substansi yang diinginkan oleh ajaran Islam. Maka, menurutnya tidak jarang penggunaan bahasa Sansekerta tergambarnya sesuatu yang tidak diinginkan oleh bahasa agama.
"Setiap bahasa menggambarkan subtansi dari apa yang ingin disampaikan oleh bahasa itu sendiri. Karena itulah para ulama lebih memilih menggunakan kata shaum atau as-shiyam yang berasal dari bahasa Arab," jelas mufasir lulusan Al Azhar Kairo itu.
Ia pun mengupas lebih detail arti dan makna shiyam. Shiyam memiliki arti sebagai penahanan sehingga cocok diterapkan pada kata puasa karena ada sesuatu yang perlu ditahan. Layaknya orang menahan buang hajat indahu imsaak, tahan dan jangan keluar.
Baca Juga
Sampah Makanan dan Makna Puasa Kita
"Jadi puasa itu adalah shiyam dalam arti menahan. Kalau Anda tidak menahan, jika kita lihat secara kebahasaan, Anda tidak dinamai puasa," beber penulis Tafsir Al Misbah itu.
"Yang ditahan dalam puasa semata-mata karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik, jadi menahan," ia menegaskan.
Dalam tayangan itu, ia juga menyinggung kalimat ‘tidurnya orang puasa adalah ibadah’. Menurutnya kalimat tersebut merupakan riwayat dhaif. Apalagi jika tidurnya diniatkan untuk mempercepat waktu, maka itu tidak dinilai ibadah sama sekali.
"Itu dhaif. Dalam puasa Anda menahan segala sesuatu yang disukai, termasuk tidur. Makanya, disebutkan inti puasa adalah menahan," ujar Prof Quraish.
Itu sebabnya, tambah dia, dalam salah satu hadits qudsi disebutkan, ‘As-shaumu lii wa ana ajzii bih'i, yang berarti puasa itu untuk-Ku, Aku yang beri balasan.
"Tidak ada yang tahu berapa balasannya, karena puasa identik dengan sabar. Sabar menahan gejolak nafsu. Pada saat Anda mampu menahannya, Anda berarti orang sabar,” imbuh Prof Quraish.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan