Riwayat Libur Sekolah Selama Ramadhan: dari Era Kolonial hingga Presiden Gus Dur
Sabtu, 11 Januari 2025 | 07:00 WIB
Jakarta, NU Online
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan pondok pesantren akan libur selama Ramadhan. Namun untuk sekolah-sekolah negeri maupun swasta di bawah Kemenag, libur masih bersifat wacana.
"Khususnya di pondok pesantren itu libur. Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan. Nanti tunggulah penyampaian-penyampaian," ujar Nasaruddin, Selasa (31/12/2024).
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Basnang Said mengatakan, sampai saat ini belum ada keputusan resmi dari pemerintah mengenai libur satu bulan penuh selama Ramadhan.
“Berkaitan ini (libur satu bulan penuh selama Ramadhan) belum ada keputusan sama sekali dari pemerintah,” ujar Basnang saat dihubungi NU Online pada Kamis (9/1/2025).
Kebijakan libur sekolah selama satu bulan penuh selama Ramadhan pernah terjadi di era kolonial Hindia Belanda. Dilansir dari laman Museum Kepresidenan, pemerintah kolonial Hindia Belanda meliburkan siswa di semua sekolah binaannya dari tingkat dasar (Hollandsch Inlandsche School atau HIS) sampai tingkat menengah keatas (Hogere Burger School atau HBS dan Algemene Middelbare School atau AMS).
Pemerintah kolonial menilai bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan banyak yang menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan.
Pada era Presiden Pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno, pemerintah menjadwalkan ulang proses pembelajaran untuk memberikan kesempatan kepada umat Muslim menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan.
Pada masa kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatur durasi libur Ramadhan menjadi beberapa hari saja. Menteri P dan K, Daoed Joesoef mengatakan bahwa pelaksanaan libur satu bulan penuh selama Ramadhan sebagai upaya pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sholihat, Syukur, dan Kurniawati dalam artikel "Kebijakan Kontroversial Daoed Joesoef 1978-1983: Perubahan Tahun Ajaran dan Libur Bulan Ramadhan" [PDF] di Jurnal Pendidikan Sejarah (2000) menjelaskan, kebijakan itu terdapat penolakan dari beberapa kalangan seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Hamka dan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Nuddin Lubis.
Meskipun ada penolakan, Daoed atas nama pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0211/U/1978 pasal 6 menetapkan waktu libur di bulan-bulan puasa sebagai waktu belajar.
Kebijakan libur sekolah selama satu bulan penuh selama Ramadhan kembali diterapkan pada era Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 1999.
Gus Dur mengatakan bahwa libur sekolah bukan hanya meliburkan siswa tanpa adanya kegiatan. Presiden Gus Dur imbau sekolah negeri maupun swasta untuk membuat program atau kegiatan pesantren kilat selama libur Ramadhan untuk meningkatkan belajar ilmu agama Islam dan meningkatkan nilai toleransi beragama.
Pada era Gus Dur, waktu libur satu bulan penuh selama Ramadhan digunakan untuk pemulihan kesehatan secara fisik dan mental dengan harapan dapat kembali bugar untuk menerima pembelajaran di periode selanjutnya. Guru dan tenaga pendidik juga dapat memanfaatkan waktu libur untuk meningkatkan pengetahuan melalui program pelatihan-pelatihan yang telah disediakan.
Namun, di era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, kebijakan ini kembali diubah yaitu hanya libur pada awal bulan Ramadhan, menjelang hari raya Idul Fitri, dan beberapa hari setelahnya. Dan kebijakan itu masih dilanjutkan sampai era Presiden RI ke-7 Joko Widodo.