Pro-Kontra Wacana Libur Sekolah Selama Ramadhan, Bagaimana Seharusnya?
Senin, 6 Januari 2025 | 11:30 WIB
Gambar hanya sebagai ilustrasi berita: Kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SD N 3 Sukamaju, Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, pada Senin (15/7/2024). (Foto: NU Online/Suwitno).
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wacana libur sekolah selama satu bulan penuh pada Ramadhan menjadi perbincangan hangat usai beberapa waktu lalu diutarakan oleh Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar. Isu ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Wacana libur sekolah selama Ramadhan ini mendapat respons dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
Ia menyarankan pemerintah agar mempertimbangkan model libur selama Ramadhan bagi anak sekolah. Menurutnya, libur yang diberikan harus direncanakan secara matang supaya memberikan manfaat yang maksimal bagi anak.
Gus Yahya juga menyoroti siswa non-Muslim saat Ramadhan tiba yang tidak ada singgungannya sama sekali dengan kegiatan belajar.
“Ramadhan itu digunakan untuk apa bagi anak-anak sekolah ini? Apalagi kalau kita lihat anak-anak sekolah yang non-Muslim, apakah mereka juga libur? Nah, kalau ikut libur, untuk apa? Ini juga harus dipikirkan,” ujarnya di Kantor PBNU Jakarta, Jumat (3/1/2025).
“Libur bukan hanya soal ada libur atau tidak, tetapi libur untuk apa? Ini yang harus dirancang modelnya. Suka atau tidak suka, saya lihat selama ini belum ada model yang baik untuk diterapkan,” tambahnya.
Sementara itu, Peneliti Sosial Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggi Afriansyah menolak wacana libur sekolah selama Ramadhan.
Menurutnya, libur sekolah selama Ramadhan akan menimbulkan risiko kenakalan kepada anak karena tidak ada pendampingan secara rutin.
“Kalau tidak ada program yang memadai, tidak ada pendampingan yang memadai, anak-anak bisa terjebak pada kegiatan yang nonproduktif, bermain gawai, bermain game, nonton tv, keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ini bisa berpotensi anak ikut tawuran setelah sahur atau menjelang buka puasa,” ujarnya kepada NU Online, pada Ahad (5/1/2025).
Anggi menyampaikan bahwa pihak sekolah lebih baik mengatur program khusus sepanjang Ramadhan untuk meningkatkan ibadah selama puasa.
“Program tersebut harus mencakup kegiatan yang membantu siswa membangun kebiasaan di tengah aktivitasnya sehari-hari, nilai-nilai ibadah selama bulan puasa, aktivitas yang sifatnya ibadah sosial. Dengan demikian, siswa mendapatkan pendidikan sekaligus pengalaman spiritual dan tidak mengorbankan aktivitas pembelajarannya,” ujar Anggi.
Ia juga mengatakan bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah tetap dilaksanakan walau ada program khusus selama Ramadhan.
“Harus tetap ada kegiatan belajar mengajar, meskipun program khusus seperti pesantren kilat itu ada internalisasi nilai ibadah. Jadi durasi belajarnya bisa dikurangi, sehingga selain diberi materi-materi di kelas, anak-anak diberikan pendampingan belajar di rumah,” katanya.
Menurutnya, Ramadhan menjadi momen bagi anak Muslim dan non-Muslim untuk saling belajar toleransi dan mempererat rasa persaudaraan antarumat beragama.
“Ramadhan ini justru menjadi momentum mempererat rasa persaudaraan antarumat beragama. Ini menjadi ruang untuk memperkaya wawasan yang ada di antara mereka. Justru jangan libur, karena mereka punya kesempatan untuk belajar, misal anak Muslim ketemu teman-teman yang non-Muslim mereka bisa saling bercerita,” ucapnya.
Senada, Guru Madrasah di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Jakarta Iman Zanatul Haeri menyatakan tidak setuju dengan wacana libur selama Ramadhan. Menurutnya, banyak capaian akademik formal bagi anak yang tidak tercapai jika ada libur selama satu bulan penuh pada Ramadhan.
“Ini jelas sekali yang dalam satu bulan ada kurikulum yang harusnya dicapai, tiba-tiba diliburkan. Ini kekurangan belajarnya nanti dibayarnya di mana? Puasa saja, dibayar, masa belajar tidak,” ujarnya kepada NU Online pada Ahad (5/1/2025).
Iman mengatakan bahwa dengan pengurangan jam belajar selama satu bulan, yang terkena dampak kerugiannya adalah anak didik karena kehilangan materi yang seharusnya mereka dapatkan.
“Mungkin akan disusul tapi waktunya kurang cukup, jadi ada potensi learning loss. Learning loss ini cara menggantikannya seperti apa? Kalau dengan penugasan, bisa berlaku jika anak-anak memiliki sistem pengawasan yang baik ketika tidak di sekolah. Tapi apakah sistem pembelajaran tersebut bisa dilakukan oleh semua orang tua? Untuk orang tua yang bekerja, tentu ini akan sulit sekali,” katanya.
Iman justru memprediksi anak-anak justru akan lebih sering bermain gawai di rumah ketika libur selama Ramadhan. Inilah yang menurutnya harus diwaspadai oleh Kemenag, sebelum menerapkan kebijakan libur Ramadhan.
Ia juga menyatakan bahwa dengan libur satu bulan selama Ramadhan, guru sekolah atau madrasah swasta khawatir gaji mereka akan berkurang. Karena orang tua akan keberatan membayar iuran SPP jika anaknya libur sekolah.
“Guru-guru swasta terutama yang honorer ini khawatir, karena ketika sebulan itu libur, maka mereka dianggap tidak ada jam pelajaran, sementara di beberapa sekolah madrasah ini kan ada guru yang digaji berdasarkan hitungan jam mengajar,” ujar Iman.
“Misalkan sebulan penuh tidak belajar, guru-guru swasta pendapatan mereka menurun, padahal kebutuhan belanja saat bulan puasa ditambah Idul Fitri meningkat,” imbuhnya.
Respons senator
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Hilmy Muhammad (Gus Hilmy) merespons baik terhadap wacana libur sekolah selama Ramadhan ini. Ia menilai, libur selama Ramdhan ini sebagai pembinaan spiritual dan karakter anak.
“Dalam setahun, dalam 12 bulan, mari kita berikan satu bulan penuh untuk lebih menebalkan spiritual dan karakter anak,” ujarnya melalui keterangan yang diterima NU Online, Sabtu (4/1/2025).
Gus Hilmy mengatakan bahwa wacana libur sekolah selama Ramadhan itu tidak menjadi masalah bagi pihak pesantren. Ia menyarankan agar pihak sekolah swasta dan negeri dapat membuat program sekolah pesantren yang pernah dilakukan di era Presiden Ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Prinsipnya mengalihkan pembelajaran, yang semula diajarkan mata pelajaran, pada Ramadhan diselenggarakan sekolah pesantren. Di masa Gus Dur dulu begitu. Di samping itu, siswa diberi tugas catatan kecil harian yang diserahkan kepada guru besok harinya. Ini menjadi dasar pemantauan guru atau dasar memberi nilai,” jelas Senator asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.
Menurut Gus Hilmy, bagi siswa non-Muslim atau sekolah non-Muslim bisa diberi tugas mandiri atau kelompok sebagai pengganti kegiatan belajar mengajar harian.
“Jadi tetap tidak masuk setiap hari. Bisa tugas dari guru mata pelajaran maupun guru ekstrakurikuler untuk menambah kreativitas anak,” kata Gus Hilmy.
Respons Kemendikdasmen
NU Online sempat menghubungi pihak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI. Namun hingga saat ini, pihak Kemendikdasmen mengaku belum memiliki pembahasan mengenai wacana libur sekolah selama Ramadhan yang diusulkan Kemenag itu.
Hal itu disampaikan oleh Tenaga Ahli Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Azaki Khoirudin.
“Sejauh ini, belum ada pembahasan terkait hal tersebut,” ujarnya kepada NU Online pada Sabtu (4/1/2025).
Terpopuler
1
Resmi Rilis, Unduh Logo Harlah Ke-102 NU Di Sini
2
Harlah Ke-102 NU Digelar di Jakarta, Ini Rangkaian Agendanya
3
Terhimpun Rp18 Miliar Dana ZIS NU Care Pringsewu di 2024, Rp1,5 Miliar Berasal dari Koin
4
Turun, Biaya Haji 2025 Rata-Rata Jadi 55,43 Juta Rupiah Setiap Jamaah
5
Melihat Antusiasme Haul Guru Sekumpul, 32 Ribu Relawan Layani Jamaah yang Membludak
6
Pro-Kontra Wacana Libur Sekolah Selama Ramadhan, Bagaimana Seharusnya?
Terkini
Lihat Semua