Jakarta, NU Online
Ketua Rabithah Maahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia punya peluang besar untuk menguasai ekonomi syariah.
"Pertama, dari aspek sejarah kita tidak kurang-kurang. Artinya dari sisi dasar (pesantren) kita sudah lebih cukup untuk bergerak," ungkap Gus Rozin saat diskusi virtual di hari ketiga peluncuran lembaga pusat keuangan syariah atau Shafiec (Center for Sharia Finance and Digital Economy) Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, pada Ahad (14/3).
Di samping itu, berbagai kitab fiqih yang dipelajari di pesantren selalu terdapat pembahasan mengenai muamalah. Karena itu, para santri sudah sangat mengenal bermacam istilah yang dipergunakan dalam ekonomi syariah.
"Jadi istilah murabahah, mudharabah, dan musyarakah itu sudah dikenal sejak anak-anak kita, para santri, setidaknya kelas diniyah ula atau diniyah wustha atau kelas satu tsanawiyah. Itu sudah dikenal," tutur Pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini.
Lebih jauh diungkapkan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang selama ini menjadi dasar ekonomi syariah pun bersumber dari kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren.
"Jumlah pesantren juga sangat banyak di Indonesia. Saya kira kalau kita melihat dari aspek itu, cukup besar (peluang pesantren menguasai ekonomi syariah)," terang Gus Rozin.
Realitas pesantren
Namun realitas yang terjadi menurut Gus Rozin, literasi keuangan di pesantren masih harus terus dan perlu untuk mendapatkan perhatian sangat besar. Sebab terdapat banyak pesantren-pesantren salaf yang kecil literasi digital keuangan syariah masih menjadi persoalan.
"Pesantren-pesantren yang sangat besar seperti Pesantren Sidogiri, saya kira itu sudah selesai. Tetapi kalau kita melihat mayoritas pesantren kita, terutama pesantren salaf, yang bukan pesantren yang besar, literasi keuangan dan digital itu masih menjadi problem," paparnya.
Pencatatan keuangan di pesantren pun hingga kini masih belum menjadi kesadaran secara umum. Pesantren yang terlayani lembaga finansial formal juga masih belum banyak. Semuanya, masih dijalankan secara konvensional.
"Jadi kalau kita melihat antara peluang yang sangat besar dengan realitas yang ada sekarang, pekerjaan kita masih banyak. Walaupun saya kira dengan kesadaran para kiai muda saat ini, peluang (menguasai ekonomi syariah) menjadi lebih besar," ujar Gus Rozin.
Kontekstualisasi ajaran kiai
Pada kesempatan yang sama, Rektor UNU Yogyakarta Purwo Santoso mengungkapkan bahwa ketika merancang Shafiec, pihaknya sudah mengantisipasi perdebatan yang masih menjadi problem di pesantren.
Namun, kata kunci penyelesaian persoalan itu adalah kontekstualisasi ajaran pesantren. Menurut Purwo, para kiai di pesantren saat ini sudah sangat kontekstual dalam memaknai berbagai ajaran dari kitab kuning.
"Hanya saja orang-orang yang menguasai konteks itu belum dipertemukan. Misalnya sekarang ada big data. Syarah big data itu bagaimana menurut kitab kuning? Jadi orang-orang yang paham big data atau literasi digital ekonomi syariah itu harus memprovokasi syarah-syarahnya kiai ketika ngaji kitab," tutur Purwo.
"(Sehingga) kontekstualisasi data itu harus disandingkan dengan kehebatan kiai-kiai dalam membaca dan menguasai kitab, termasuk memperdebatkan kitab. Jadi itu yang disebut kontekstualisasi," katanya.
Purwo yakin potensi pesantren menguasai literasi keuangan syariah sangat besar, karena yang diajarkan para kiai NU di pesantren bukan soal hukum haram dan halal. Namun di antara keduanya itu terdapat realita yang perlu dikontekstualisasikan secara inovatif.
"Sehingga tidak terjebak dalam kontroversi. Pada saat yang sama, para kiai di pesantren itu telah mampu menjawab tantangan zaman," pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan