Sarbumusi Dorong Model Hubungan Industrial Sektoral dalam Revisi UU Ketenagakerjaan
Selasa, 23 September 2025 | 20:30 WIB
Suasana Ruang rapat Komisi IX saat rapat RUU Ketenagakerjaan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (23/9/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Komisi IX DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Ketenagakerjaan bersama berbagai organisasi pekerja dan buruh di Kompleks Parlemen, Jakarta Selasa (23/9/2025).
Rapat ini membahas masukan terkait perlindungan pekerja formal dan informal, kritik terhadap pasal-pasal yang berpotensi merugikan buruh, hingga usulan berbasis perspektif keagamaan dan sektor kesehatan.
Direktur LBH Sarbumusi Muhtar Said menyampaikan sejumlah rekomendasi yang telah dirumuskan organisasinya. Salah satu poin utama adalah pentingnya penerapan hubungan industrial berbasis sektoral.
“Satu, yaitu terkait dengan hubungan industrial berbasis sektoral. Ini terkait dengan federasi serikat, pekerja berbasis sektoral juga. Kenapa harus sektoral? Itu karena supaya dengan adanya ini, ini akan mengurangi potensi deadlock,” ujar Muhtar.
Menurutnya, mekanisme sektoral dapat meminimalkan konflik kepentingan antara perusahaan dan karyawan, sekaligus mengoptimalkan peran lembaga kerjasama tripartit.
Ia menilai, hal ini akan memangkas birokrasi ketenagakerjaan sekaligus mendorong keadilan melalui upah minimum sektoral.
Muhtar menegaskan bahwa gagasan tersebut telah diuji bersama akademisi Fakultas Hukum UII dan Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).
“LKS yang berbentuk sektoral ini sudah benar-benar memenuhi kaedah-kaedah fikih kehidupan. Benar-benar sesuai dengan nilai-nilai yasir wala tu’assir. Sudah sesuai dengan asas tawasut, tengah-tengah. Kita kan pinginnya damai,” katanya.
Selain itu, LBH Sarbumusi juga mengusulkan pembentukan Induk Koperasi Pekerja. Menurut Muhtar, meski payung hukumnya sudah ada, implementasinya masih setengah hati.
"Dengan adanya Koperasi Pekerja ini, didorong untuk mewajibkan perusahaan untuk mendorong adanya koperasi pekerja. Ini akan mendorong perekonomian yang lebih lanjut," jelasnya.
Ia mencontohkan praktik di Jerman, di mana buruh bisa menjadi wakil direktur atau manajer karena berkoperasi dan memiliki saham perusahaan.
"Jadi di sisi lain kita buruh, di sisi lain kita bos. Sehingga tidak ada jenjang skill yang harus dimiliki oleh pekerja buruh. Jadi tidak terus menerus kita ditindas," tegasnya.
Usulan lain yang juga disoroti adalah mengenai jaminan sosial pekerja baru, termasuk sertifikasi dan penetapan UMP 20 persen.
"Ini sangat sulit. Kami meyakini ini sangat sulit. Tapi ini demi kesejahteraan bersama, demi buruh, demi rakyat Indonesia. Maka yuk kita perjuangkan," imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Direktur LBH Sarbumusi, Masykur Isnan, menambahkan bahwa fokus pembahasan sebaiknya diarahkan pada penguatan substansi yang sudah ada agar lebih optimal.
"Dan para sahabat, sedang menambahkan bahwa bicara soal hukum negara-negara jahat memang akan keterkaitan dan kelekatan tidak hanya 13 Januari 2003, 1963, dan ada beberapa ketentuan-ketentuan yang lain. Tapi di momen ini kami akan coba fokus untuk mengoptimasi hal-hal yang sebenarnya substantif yang bisa dielaborate lebih jauh. Tadi soal LKS Reparti Sektoral, kemudian menemukan lembaga kesejahteraan dalam bentuk Induk Operasi dan sebagainya," ujarnya.
Menurut Masykur, langkah tersebut lebih tepat dibandingkan membentuk lembaga baru yang belum jelas arah dan efektivitasnya.
"Ini bisa menjadi alternatif untuk kita memastikan hal-hal yang sudah diatur itu bisa dioptimalkan sehingga tidak menjadi hal yang sia-sia. Dibandingkan kita membuat lembaga-lembaga di luar itu yang kita belum tahu arah ke depannya seperti apa. Sehingga ini juga menjadi concern, efektivitas-efektivitas ini bisa dioptimalkan lebih jauh," tandasnya.