Jogjakarta, NU Online
Siang yang terik tidak menghalangi orang-orang Dusun Klenggotan Bantul untuk berkumpul di Pesantren Kaliopak, Bantul Rabu (2/5). Tua, muda, dan anak-anak sibuk sendiri-sendiri, bermain, ngobrol, membeli jajanan dan sebagainya.
<>
Namun, keramaian itu mendadak terhenti, ketika seorang perempuan paruh baya menembangkan lagu-lagu Jawa. Alunan musik gamelan mengiringinya. Makin lama makin rancak terdengar. Lagu-lagu Jawa tersebut menjadi penanda acara tasakuran 50 Tahun Lesbumi yang dilesenggarakan Pengurus Wilayah Lesbumi Jogjakarta.
Tak lama para pasukan berkuda masuk ke tengah-tengah arena. Dengan formasi lengkap, seni Jathilan bergerak, menari, mengikuti musik dengan gerakan harmonis. Geraka kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu memancing hadirin untuk tepuk tangan. Suasana ramau, meriah, dan guyub.
Tapi sesaat setelah itu, penontot sontak, tergaket-kaget, padangan mereka tertuju salah seroang penonton. “Wonten sing kerasukan, (ada yang kerasukan, red.),” kata salah seorang penonton.
Semua orang penonton berhamburan menjauhi yang kerasukan, tapi seorang anggota Jathilan langsung mendekat memberi pertolongan. Tidak lama setelah itu, penonton yang diketahui bernama Aris kembali tersadar.
Jathilan adalah salah satu dari seni budaya yang menjadi tradisi di Jawa. Tiap kali akan mengadakan acara, orang Jawa dahulu pada umumnya akan menanggap Jathilan sebagai hiburan. Kini, Ditengah derasnya arus globalisme yang kian mengikis seni tradisi nusantara, kesenian Jathilan mulai tersisihkan.
Acara yang mengetengahkan tema “Menggali Kearifan Hidup Berbangsa dalam Khazanah Seni Nusantara” ini, selain Jathilan, juga menampilakan Tari Saman Jolosutro, Emprak, Ibu-ibu PKK, Pentas Musik Ki Ageng Ganjur pimpin Sastro Ngatawi serta pidato kebudayaan Budaya oleh Agus Sunyoto.Malam harinya, halaman Pesantren Kaliopak juga dipenuhi oleh masyarakat sekitar, mahasiswa dan pemerhati budaya. Mereka sengaja datang untuk menyaksikan satu-satunya seni Saman asli Yogyakarta.
Menurut M. Jadul Maula, Pengasuh Pesantren Kaliopak, “Tari Saman adalah seni yang sangat tua. Meski selama ini tari Saman diindentikkan dengan Aceh, tapi ternyata sejak abad ke-XVI sudah ada di Yogyakarta. Tentu ada ciri-ciri yang sama, tapi tentu juga banyak variasi-variasi lokal yang berbeda.”
Setelah Tari Saman, ibu-ibu pemenang Lomba Kartini Rukun Tetangga setempat turut menunjukkan kebolehan menampilkan paduan suara. Kemudian tampil grup musik Ki Ageng Ganjur berkolaborasi dengan Seni Emprak yang merupakan asuhan Pesantren Kaliopak.
“Acara ini sangat bagus untuk generasi bangsa, biar mereka sadar bahwa bangsa ini mempunyai identitas. Seni merupakan media yang bagus untuk kita pertahankan,” komentar Muhyidin, mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga.
Sementara itu, Agus Sunyoto dalam pidatonya menegaskan bahwa seni tradisi nusantara penting untuk dipertahankan, karena di dalamnya terkandung ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang dapat membentuk karakter dan jati diri bangsa. “Hilangnya jati diri bangsa bukan tidak mungkin dalam era globalisasi ini. Sebab saat ini, gejala-gejala ancaman globalisasi sudah tampak. Kita tak lagi menjadi subyek, melainkan telah terjajah untuk selalu menjadi obyek,” jelas Sunyoto.
Menurutnya, sebagai salah satu tulang punggung khittah Nahdatul Ulama, Lesbumi memiliki arti tersendiri bagi NU.
“Salah satu makna keberadaan Lesbumi di dalam NU adalah meneguhkan kecintaan NU pada tanah air dengan cara memelihara dan mengembangkan budaya bangsa dalam keragaman bentuknya,” terangnya.
Bulan Budaya
Tasyakuran 50 tahun Lesbumi tersebut juga menjadiacara pembukaan bulan budaya yang diselenggarakan Lesbumi Jogjakarta.
Ketua Lesbumi Jogjakarta M. Jadul Maula menjelaskan bulan budaya akan diisi Lomba Cipta Film, Penulisan Esai, Pekan Film dan Launching Bioskop Lesbumi yang akan diadakan pada 20-24 Mei 2012 di Ngeban Resto, Pagelaran Seni Nusantara yang akan dilaksanakan pada 1-3 Juni 2012 di Pesantren Kaliopak.
“Semua rangkaian Harlah 50 Tahun Lesbumi akan ditutup dengan acara Lesbumi Award yang insya allah akan dilaksanakan 29 Juni 2012 di Gedung PBNU,”kata Jadul.
Kontributor: Khanif Rosidin dan Windha Larasati