Serunya 'Lalaran' Nadham Alfiyah di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang
Ahad, 2 Mei 2021 | 01:30 WIB
Suasana lalaran Alfiyah Ibnu Malik di Pesantren Al-Anwar Sarang. (Foto: Tangkapan layar YouTube ppalanwarsarang)
Jakarta, NU Online
Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, memiliki tradisi unik dalam menghafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tradisi tersebut dinamakan ‘lalaran’ atau ‘muhafadzah’ (menghafal) bersama-sama.
Meski hanya diiringi ‘alat musik’ sederhana, namun kegiatan tersebut justru memiliki keseruan tersendiri. Seperti apa serunya lalaran di Pondok Sarang? Keseruan lalaran itu bisa kita saksikan di channel YouTube ppalanwarsarang berjudul ‘Lalaran Alfiyah 1002 Bait Full Santri PP Al-Anwar Sarang.’
Video berdurasi kurang lebih 1 jam 27 menit tersebut sejak tayang pada awal Ramadhan 1442 H telah ditonton 50 ribu lebih warganet. Tayangan tersebut juga disukai hampir 3 ribu warganet dan dikomentari ratusan orang. Sila klik tautan berikut ini Lalaran Alfiyah Ibnu Malik.
Sebagaimana diketahui, Alfiyah Ibnu Malik merupakan salah satu kitab terpopuler dalam khazanah keilmuan pesantren. Kitab ini berisi tentang ilmu gramatika bahasa Arab yang disusun oleh Imam Ibnu Malik dalam bentuk nadham atau syi’ir.
Dalam praktiknya, para santri Pesantren Al-Anwar Sarang berkumpul jadi satu di sebuah aula. Dengan bersarung, berpeci hitam, dan berbaju santai, mereka duduk melingkar hingga membentuk lingkaran besar ke belakang.
Di tengah-tengah, duduklah empat orang sebagai ‘dirigen’ dengan ember dan botol air mineral yang dipukul-pukulkan sehingga membentuk irama musik yang menarik sekaligus menggelitik. Iringan musik tersebut mengiringi lalaran Alfiyah Ibnu Malik ini.
Mula-mula para santri melantunkannya secara perlahan. Lama-kelamaan temponya semakin cepat mengikuti irama musik yang dimainkan santri senior dengan penuh antusias. Salah satu program peningkatan hafalan santri terhadap nadham itu pun berlangsung seru dan menghibur. Beberapa santri yunior tampak menikmati di balik pintu dan jendela.
Tradisi lama
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen saat dimintai komentar NU Online mengatakan, tradisi lalaran di Pondok Sarang sudah ada sejak lama. “Saya sekolah dulu ya sudah lalaran gitu,” kata Gus Ghofur, Jumat pekan lalu.
Menurut putra almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) ini, program lalaran tersebut sudah ada sejak tahun 1985-an. “Waktu itu sepertinya sudah ada lalaran. Tepatnya kapan saya tidak tahu,” ungkapnya.
Saat ditanya pengalaman spiritual apa yang ia alami dan dapatkan selama atau pasca lalaran Alfiyah, Gus Ghofur mengaku senang. Bahkan ada temannya yang maniak juga. “Kalau saya tidak maniak, sesekali saja ikut. Tapi kalau yang benar-benar mondok sepertinya harus ikut. Ya, kayak hiburan aja. Hafalan dibuat menyenangkan,” tuturnya.
Menurut doktor jebolan Universitas Al-Azhar Mesir ini, santri maniak Alfiyah bukan hanya ikut lalaran. “Tapi memang benar-benar menikmati. Ada totalitas,” ujar Gus Ghofur.
Ketika ditanya apakah peserta lalaran boleh ‘nyontek’ sedikit, Gus Ghofur menegaskan jika zaman dirinya dulu mengikuti lalaran lampunya dimatikan. “Gelap. Ya, di ruangan itu gelap. Gelap gulita tanpa ada lilin atau lampu teplok sekalipun. Itu yang saya tahu dulu,” tandasnya.
Menurut Gus Ghofur, dengan dimatikannya lampu di ruangan tentu membuktikan para santri benar-benar hafal ketika lalaran lancar. “Sengaja lampu dimatikan. Terus melantunkan dengan semangat sekali. Makanya saya merasa, kawan-kawan ada yang totalitas. Senang dan seperti sangat menikmati,” tandasnya.
Di bawah lampu yang padam, para santri melantunkan bait-bait mutiara Andalus yang sangat indah dan menawan. Meski hanya diiringi nada dari gesekan bak dan lantai serta botol air mineral dan gayung mandi, namun dapat menambah semangat serta menyatukan kekompakan mereka.
“Sudah menjadi kebiasaan ketika selesai lalaran suara mereka terkadang habis. Meskipun begitu, yang tampak pada wajah mereka bukanlah sedih ataupun susah. Akan tetapi, raut muka bahagia dan senang bisa mengkhatamkan Alfiyah,” tuturnya.
“Program lalaran seperti ini, menurut saya, kiranya sangatlah efektif dalam meningkatkan kemampuan hafalan para santri. Dan itu nyata terbukti,” tandas Gus Ghofur.
Harus dilestarikan
Dihubungi terpisah, Abdul Wadud Kasyful Humam, alumnus Pondok Sarang 2006, mengaku terkesan dengan video tersebut. Ia tetiba teringat masa-masa indah saat jadi santri dulu.
“Yang paling berkesan saat lalaran Alfiyah, kotekan dengan alat sekadarnya seperti dayung, ember, dan lain-lain,” kata Humam, sapaan akrabnya, kepada NU Online, Ahad (2/5).
Menurut Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang ini, tradisi lalaran tersebut harus tetap dilap-lap, dijaga, dan dilestarikan. Jangan sampai sirna ditelan zaman.
“Tidak boleh hilang. Kalau perlu, pondok-pondok yang memang konsen di kitab salaf, bahkan pondok Qur’an yang ada orientasi kitab salafnya silakan meniru lalaran model ini,” ujarnya.
Sejak pertama di Sarang, pria asal Pati ini mengaku ikut terus kegiatan tersebut karena memang diwajibkan. “Jadi, wajib hafalan Alfiyah itu mulai kelas 3 muhadharah. Saya di Sarang tahun 2002. Lulus muhadharah 2006 akhir,” pungkasnya.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan