Soal Musik Gus Nadir Imbau Masyarakat Tidak Mudah Melabeli Radikal
Selasa, 21 September 2021 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Isu terkait musik akhir-akhir ini menuai banyak tanggapan. Prof Nadirsyah Hosen menjelaskan bahwa terlalu gampang melabelkan radikal orang lain atas hal yang bertentangan dengan paham seseorang adalah berbahaya. Pasalnya, hal ini membuat kata 'radikal' itu sendiri menjadi kehilangan makna.
"Karena semakin memecah belah anak bangsa dan akhirnya yang betul-betul radikal jadi ngumpet, nggak ketahuan. Malah orang-orang yang moderat, yang progresif dianggap radikal. Jadi, kita meradikalkan orang yang bukan radikal akhirnya," kata Prof Nadirsyah Hosen dalam perbincangan dengan Yenny Wahid melalui live Instagram, Senin (20/9/2021).
Dosen senior Monash Law School tersebut menjelaskan bahwa perdebatan mengenai hukum musik sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Jika ditinjau dari kitab-kitab klasik, terkait hukum musik sendiri hanyalah persoalan fiqih semata yang tidak dikait-kaitkan dengan isu radikalisme. Dalam Al-Qur'an, kata dia, keterangan yang tersurat mengenai dilarangnya mendengar musik tidaklah ada. Hal ini bisa tinjau melalui beberapa tafsir dan hadits.
Bertolak pada ilat haramnya, musik pada zaman dulu sendiri biasanya identik dengan maksiat, beriringan dengan minum-minuman, ada perumpuan yang bernyanyi. "Itu yang kemudian dianggap bisa melalaikan hati kita. Bisa membuat kita meninggalkan ibadah. Bukan alat musiknya sendiri yang diharamkan," ujar Gus Nadir, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa generalisasi itu harus dihindari. Terkait kelompok yang menganut paham musik haram, harus tetap dihormati.
"Karena yang biasanya terkenal mengharamkan kan, itu kelompok teman-teman salafi. Jadi akhirnya kan, terkenalah stigma ini ‘Wah kalo kamu tidak mendengarkan musik berarti kamu Wahabi.’ Ujung-ujungnya radikal. Tapi, mazhab Syafi’i juga mengharamkan. Sejumlah ulama kita juga ada yang tidak mau mendengarkan musik. Apakah kemudian itu kita bilang Wahabi semua. Jadi kita harus pilah-pilah,” terang Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru tersebut.
Sejalan dengan Gus Nadir, Yenny Wahid berpendapat bahwa warga negara yang baik itu yang masih menaati peraturan. Kalau dia masih menaati itu, artinya dia tidak menangap pemerintahan ini thagut, dia tidak melakukan tindakan-tindakan untuk menggulingkan pemerintahan.
"Ada sebagian (warga) yang mengharamkan macam-macam, tapi dia masih mau bayar pajak. Sebagai warga negara, dia berhak mendapat perlindungan dari negara," jelas putri kedua almarhum KH Abdurahman Wahid tersebut.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan