Nasional

Kiai Musikan Jember Menumpas Serdadu Belanda, Ditahan Saat Orde Baru

Rabu, 18 Agustus 2021 | 02:30 WIB

Kiai Musikan Jember Menumpas Serdadu Belanda, Ditahan Saat Orde Baru

Kiai Musikan Jember (Foto: dok istimewa)

Jember, NU Online 
Kemerdekaan Indonesia genap berusia 76 tahun pada Selasa 17 Agustus 2021. Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia tak lepas dari peran seluruh anak negeri dalam mengusir penjajah di sekujur Nusantara. Salah satunya adalah Kiai Musikan.

 

Kiai Musikan berada dalam barisan Sabilillah di bawah komando Kiai As'ad Syamsul Arifin. Ia ikut bergerilya di front-front perang tingkat lokal, Jember dan sekitarnya. Bersama Kiai As’ad dan para pejuang lainnya, ia ikut ambil bagian dalam penumpasan serdadu Jepang di Desa Garahan, Kecamatan Silo, Jember Jawa Timur.

 

Kiai Musikan, Kiai As’ad dan para pejung lainnya mengambil start di Sumberwringin, menapaki jalan yang tak bersahabat, naik turun ngarai, menyeberang sungai, dan menembus hutan belantara. Tidak hanya medan yang berat tapi di tengah jalan juga tak luput dari sergapan serdadu Jepang, namun mereka selamat hingga sampai di Desa Garahan, yang menjadi markas serdadu Jepang untuk wilayah Jember timur.

 

Berkat militansi pejuang, akhirnya serdadu Jepang lari tunggang langgang. Mereka memilih segera pergi daripada markasnya diluluhlantakkan oleh para pejuang.

 

Setelah menaklukkan Garahan, Kiai Musikan bersama para pejuang merangsek ke wilayah timur, mulai dari kawasan Curah Ledok, Kalibaru hingga Songgon, Banyuwangi.

 

"Ini fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan. Perjungan Kiai As'ad dan para pejuang lain diabadikan dalam bentuk monumen di lapangan Garahan," ujar Ahmad Badrus Sholihin, cucu Kiai Musikan di kediamannya, Desa Glagahweri, Kecamatan Kalisat Jember, Selasa (17/8/2021).

 

Sebagai salah satu pemimpin Sabilillah, Kiai Musikan tak hanya bermodalkan kekuatan fisik tapi juga doa kepada Allah. Ia mengamalkan hampir semua hizib, seperti hizbun nashar dan hizbul bahar. Semua pejuang yang berada di barisannya, juga ia beri ijazah beberapa amalan dan doa keselamatan. 

 

"Karena memang kalau kita adu senjata tidak imbang, makanya Kiai Musikan juga dengan doa dan amalan-amalan hizib," tambahnya.

 

Salah satu anak buah Kiai Musikan adalah Pura. Pura adalah sosok pendekar yang cukup melegenda di kawasan Jember timur. Di masa masa agresi Belanda ke-2, Pura menjadi incaran, tapi serdadu Belanda tak mampu menangkapnya. Alih-alih menangkap, justru mereka keder karena ia tak bisa tertembus peluru. Tapi Belanda tak kurang akal, ibu Pura lalu ditangkap agar Pura menyerah. Dan sebagai orang yang berbakti kepada ibunya, akhirnya Pura menyerah, ia tak kebal lagi. Jasad Pura diarak keliling desa oleh serdadu Belanda.

 

"Bersama Abah (Kiai Musikan) Pura dan rakyat juga  berjuang untuk negeri ini," ucap salah seorang putra Kiai Musikan, KH Luthfi Baihaqi.

 

Setelah perang usai, Kiai Musikan kembali mengurusi pesantren yang didirikannya, yaitu Pesantren Miftahul Ulum, di Desa Glagahwero, Kalisat Jember Jawa Timur. Selain mengurus santri dan membina masyarakat, ia juga berkhidmah di NU. Di pesantren, ia membenahi ibadah dan akhlak santri. Di NU ia menggerakkan pemberdayaan dan kedaulatan umat, termasuk di bidang politik. 

 

Bersama beberapa kiai lain, seperti Kiai Ismail, Kiai Munawi, dan Kiai Baijuri, Kiai Musikan mampu mengubah wajah masyarakat Kalisat yang asalnya tak karu-karuan menjadi lebih islami.
 

Pada Pemilu 1955, Kiai Musikan turut berjuang untuk memenangkan Partai NU. Ia adalah seorang juru kampanye dan penggerak massa yang mumpuni. Kendati ia tidak fasih berbahasa Indonesia, namun ceramahnya 'mengena' dan ceplas-ceplos.

 

Jika PKI menggerakkan Lekra untuk melakukan agitasi dan propaganda di kalangan akar rumput, maka NU mengandalkan Lesbumi. Kiai Musikan turun tangan sendiri menyemarakkan kesenian hadrah, macapat, dan kentrung. Ia juga menghimpun anak-anak muda dalam seni beladiri pencak silat. Sampai sekarang, seni hadrah warisan zaman itu masih dilestarikan oleh keluarga dan alumni pesantren, dan masih rutin dipentaskan sebulan sekali, secara bergiliran dari rumah ke rumah masing-masing alumni. 

 

Namun perjalanan Kiai Msuikan tidak lempang. Menjelang huru hara PKI tahun 1965, Kiai Musikan yang saat itu memimpin NU Kalisat terus berusaha menghalau PKI. Akibatnya, PKI setengah mati memusuhi Kiai Musikan. Pria yang berganti nama dengan KH Baihaqi (setelah naik haji) itu bahkan pernah diracun oleh orang PKI, namun masih selamat. 

 

Meskipun berkali-kali didzolimi PKI, Kiai Musikan tidak menyimpan dendam. Ia masih membuka pintu lebar-lebar dan memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dituduh simpatisan PKI. Kiai Musikan  bahkan memerintahkan barisan pelopor dan Banser untuk menjemput orang-orang malang itu dan diminta untuk berlindung di pesantrennya. Dalam pandangan Kiai Musikan, tidak sedikit di antara mereka sebenarnya juga tidak tahu apa itu PKI. Sebagian besar mereka adalah keluarga santri yang tercatut namanya karena bekerja di perusahaan kereta api atau menjadi buruh perkebunan.

 

"Oleh Abah, mereka dilindungi karena juga tetangga yang diyakini bukan simpatisan PKI, tapi namanya hanya tercatut,” jelas KH Lutif Baihaqi.

 

Tahun 1971 hingga 1977 Kiai Musikan menghadapi cobaan yang cukup berat. Ia menjadi juru kampanye PPP karena NU adalah bagian dari partai tersebut.  Kecurangan terstruktur yang dilakukan oleh Orba untuk memenangkan Golkar mendapatkan perlawanan di mana-mana, termasuk di Kalisat, Jember. Meski sering mendapat ancaman dari aparat, namun nyali Kiai Musikan tak ciut. Ia terus menggelorakan perlawanan dari podium ke podium, dari desa ke kota. 

 

"Akibatnya Kiai Musikan ditangkap, dan ditahan di Markas Kodim Jember sebagai tahanan politik selama 6 bulan," terang KH Lutfi Baihaqi.

 

Keluar dari tahanan tak membuat Kiai Musikan kapok. Ia tetap kritis, menyuarakan kepentingan NU. Ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PCNU Jember (1979-1984). Khidmah Kiai Musikan untuk NU tak pernah luntur, dan terus membina masyarakat dengan ajaran Aswaja.

 

Akhirnya, masa itu datang juga. Beberapa pekan setelah Muktamar NU di Situbondo (1984), Kiai Musikan wafat di usia sekitar 63 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia berwasiat kepada semua anggota keluarga dan santrinya.

 

"Engko’ matoro’ah NU, NU, NU (Saya titip NU, NU, NU)," begitu wasiatnya.

 

Sebuah wasit yang menggambarkan betapa cintanya sang kiai terhadap NU. Ia berjuang bersama tokoh NU (Kiai As’ad Syamsul Arifin), membela kepentingan NU sampai dipenjara, dan akhirnya wafat dengan napas NU.

 

Pewarta: Aryudi A Razaq 
Editor: Kendi Setiawan