Jakarta, NU Online
Pada dasarnya, hukum tidak ada yang benar ataupun salah. Mahfud MD mengungkapkan bahwa, hukum adalah kesepakatan (resultante) dari berbagai pendapat yang berbeda. Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara penutup pada program televisi nasional swasta, Selasa malam hingga Rabu dini hari (20-21/2).
Sebelum mengungkapkan solusi atas permasalahan Undang-undang MD3 yang menjadi polemik, Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengungkapkan beberapa permasalahan lebih dahulu.
Menurutnya, ada tiga prinsip trias politika. Pertama, parlemen boleh memanggil orang untuk keefektifan kinerjanya. Orang bisa dipanggil paksa oleh DPR jika ia adalah saksi sebuah peristiwa. Tapi jika sebagai ahli menurut kepakarannya, dia bisa menolak. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2013 itu menyatakan bahwa tidak bisa menyamaratakan semuanya boleh dipanggil secara paksa.
“Saya sering menolak,” katanya.
Menyangkut Yudikatif, kedua, tidak boleh membangkang terhadap putusan pengadilan. Perihal presiden, sebagai prinsip ketiga, jika bersalah melakukan tindak pidana, maka harus diberhentikan dahulu, baru diadili sebagai penghormatan kepadanya karena merupakan atasan penegak hukum. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Dia enggak punya kekuasaan untuk intervensi lembaga penegak hukum, bisa langsung ditangkap. Nah, kalau DPR dipecat dulu, wong temannya yang berhak memecat melindungi semua. Itu kan? Itu faktanya. Ndak bisa. Ndak bisa agar terhormat DPR dipecat dulu,” kata Mahfud.
Jika proses peradilan harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dulu, menurutnya, salah karena mencampuri urusan hukum dengan masalah etik. Padahal hukum adalah norma tertinggi yang tidak bisa dicampuri dengan lembaga etik seperti MKD.
“Tidak boleh menunggu persetujuan atau pendapat dari MKD. Ndak boleh. Sudah diputuskan oleh MK kok masuk lagi. Itu kan jelas-jelas penerobosan rambu-rambu yang menurut konstitusi, tafsir MK itu tafsir final. Lepas dari suka atau tidak suka,” katanya.
DPR tidak boleh mengambil alih wewenang penegak hukum secara sepihak. DPR berhak mengambil langkah hukum kalau ada penghinaan atau mengganggu merusak martabat DPR atau anggota DPR. Tetapi itu dilakukan atas nama perseorangan, individunya sebagai bangsa yang memiliki hak mengadu. Bukan atas nama jabatan karena dia sebagai anggota DPR.
Hal itu sudah termaktub dalam vonis MK No.13 dan No. 22 tahun 2006 mengatakan, bahwa penghinaan terhadap pejabat itu dipersonalisasikan. “Artinya, delik aduan bersifat personal, bukan jabatannya,” jelasnya.
Selain pada vonis di atas, MK juga telah menetapkan melalui Vonis MK No. 31, penghinaan terhadap pejabat yang diatur di dalam Pasal 319 KUHP adalah harus dianggap sebagai delik aduan dan bersifat personal.
Setidaknya, ada enam hal yang sudah ada di KUHP Pasal 310, yakni menista, menista dengan tertulis, memfitnah, menghina atau melakukan penghinaan, melakukan pencemaran, dan pencemaran secara tertulis.
Mahfud lalu bercerita perihal berita yang telah ia baca, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yassona Laoly menyatakan bahwa presiden, kemungkinan tidak menandatangi putusan tersebut. Meskipun tidak akan ditandatangani, putusan tersebut akan tetap berlaku manakala telah melewati 30 hari.
“Kalau presiden tidak mau menandatangani menurut pasal 20 ayat 5 undang-undang dasar itu dalam 30 hari berlaku dengan sendirinya,” ujar Mahfud.
Solusi
Hari-hari ini ramai judicial review sebagai langkah gugatan terhadap undang-undang yang belum berlaku tersebut. Menurutnya, boleh saja melakukan hal tersebut. Tetapi judicial review hanya bisa dilakukan jika sudah ada nomornya (nomor undang-undang).
“Sebenarnya, ndak boleh lho itu belum ada nomornya sudah didaftarkan (aduannya),” katanya. “Kan obyeknya harus jelas,” imbuhnya.
Selain judicial review, solusi lain yang ditawarkan Mahfud MD adalah presiden menandatangani undang-undang tersebut dan menggantinya dengan Perppu.
“Pak SBY itu menandatangani undang-undang tentang pemilihan daerah pada hari ini, kemudian besok paginya dikeluarkan Perppu dicabut. Itu cara lebih cepat. Presiden tanda tangan, besok dicabut dengan bunyi begini-begini,” katanya. “Bisa Perppu. Bisa. Daripada bertengkar di Mahkamah Konstitusi terus ada yang curiga. Wah, ini main mata, presiden aja turun tangan. Bisa kok secara hukum,” ahli hukum asal Madura itu kembali menegaskan. (Syakirnf/Abdullah Alawi)