Standar Ganda Barat Munculkan Peluang Peran Tiongkok dalam Konflik Israel-Palestina
Kamis, 16 Mei 2024 | 18:30 WIB
Seminar nasional dengan tema Indonesia, China, Barat dan Geopolitik Timur Tengah di Theater Room Perpustakaan UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (14/5/2024). (Foto: PCINU Tiongkok/Zuhri)
Jakarta, NU Online
Perang Israel-Palestina yang pecah sejak 7 Oktober 2023 lalu hingga kini terus bereskalasi. Konflik itu mengakibatkan lebih dari 35 ribu rakyat Palestina tewas dan 80 ribu lainnya luka-luka akibat serangan Israel.
Kemelut di Gaza, Palestina yang belum menemukan titik terang hingga saat ini dibahas oleh Sino-Nusantara Institute yang bekerja sama dengan FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang melalui seminar nasional dengan tema Indonesia, China, Barat dan Geopolitik Timur Tengah di Theater Room Perpustakaan UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (14/5/2024).
Seminar yang digelar secara hybrid ini menghadirkan tiga narasumber yakni Direktur Sino-Nusantara Institute Ahmad Syaifuddin Zuhri, akademisi UIN Walisongo Prof Mukhsin Djamil, dan Editor Senior Harian Suara Merdeka Gunawan Permadi.
Direktur Sino-Nusantara Institute Ahmad Syaifuddin Zuhri menilai bahwa Amerika Serikat dan Barat telah memainkan standar ganda dalam konflik Israel-Palestina.
"AS dan Barat dalam Konflik Palestina-Israel banyak sekali bersikap standar ganda. Korban sipil yang lebih dari 35 ribu warga Gaza oleh Israel sudah masuk level genosida. Hal itu juga banyak dikecam publik global. AS seolah tutup mata, bahkan mendukung penuh Israel dengan militer dan finansial,” kata Zuhri dalam keterangannya, diterima NU Online, Rabu (15/5/2024).
Menurutnya, hal ini berbeda ketika AS dan negara-negara Barat yang kerap menuduh Tiongkok dengan isu HAM dan genosida Uighur di Xinjiang misalnya, meski hal itu banyak dibantah juga oleh negara-negara di kawasan Arab seperti Arab Saudi, UEA dan lainnya.
Dalam kaitannya dengan kepentingan Tiongkok, Zuhri menyebut bahwa China dalam relasinya di Timur Tengah tak jauh dari relasi ekonomi, perdagangan, manufaktur dan kebutuhan energi.
"Timur Tengah menjadi satu-satunya yang bisa memasok kebutuhan energi 50-60 persen untuk China. Oleh karenanya, Timur Tengah menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonominya mereka lewat energi itu. Konsekuensi dari itu, negara-negara di Timur Tengah harus menjaga hubungan baik dengan China," jelas alumni master Hubungan Internasional Nanchang University, China, itu.
Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok itu melanjutkan, China mempunyai skema Belt and Road Initiative (BRI) yang salah satu tujuannya adalah ke negara-negara Arab. Karena itu, China berkepentingan menawarkan solusi ke negara-negara konflik, termasuk gagasan solusi perdamaian dua negara Palestina dan Israel.
Baca Juga
Gus Dur Minta Israel-Palestina Berunding
“China sangat mendukung upaya diplomasi dan perdamaian dalam konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina. Upaya China itu juga didukung penuh oleh Indonesia,” jelas Zuhri.
Selaras dengan itu, Rektor UIN Walisongo Prof Nizar Ali turut menyinggung realitas global terkait menurunnya pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah. Menurutnya, hal itu perlu diimbangi dengan pengaruh kekuatan global lainnya, seperti China.
"Menurunnya pengaruh AS ini kemudian diimbangi dengan menguatnya pengaruh kekuatan-kekuatan global lainnya seperti China," jelasnya.
Akademisi UIN Walisongo Prof Mukhsin juga melihat relasi China, Barat, dan negara-negara kawasan Timur Tengah dari beragam perspektif yakni geografis, geokultural, serta geopolitik.
"Secara geografis, tentu telah menjadi landasan gerakan dan situasinya sudah global. Katakanlah berita dari sana telah mudah diakses di wilayah manapun. Kedua, Timur Tengah sebagai wilayah geokultural memiliki karakter unik. Namun yang mendasar saat ini, dari identitas itu sulit dipahami,” jelasnya.
"Dari aspek geopolitik dan geokultural, Indonesia itu lebih banyak mempertimbangkan aspek-aspek keagamaan seperti kepentingan haji, dan lainnya," imbuhnya.
Sementara itu, Editor Senior Harian Suara Merdeka Gunawan Permadi dalam perspektif media menyebut bahwa framing konflik Israel-Palestina di Timur Tengah belum berubah sejak dulu.
Menurutnya, persoalan framing media ini sangat serius, utamanya berkaitan dengan pemahaman soal kegiatan dan interpretasi masyarakat terhadap suatu isu terutama dalam isu Timur Tengah.
Gunawan juga menyinggung soal kemerdekaan pers. Menurutnya, di banyak negara banyak orang mendiskusikan kemerdekaan pers. Namun di Timur Tengah, justru banyak jurnalis yang menjadi korban.
“Secara tidak sadar informasi yang beredar itu dikuasai oleh media yang kapitalnya besar. Terutama media-media besar dari Barat," katanya.